Senin, 31 Maret 2014

Hukum Memilih Calon Pemimpin non-Muslim


Apakah boleh bagi seorang muslim memberikan suara (baca: nyoblos) dalam pemilu? Apakah boleh memberikan suara kepada caleg non-muslim (yang kafir)?

Jawab:
     Kaum muslimin tidak boleh memberikan suara kepada calon non muslim. Tindakan tersebut berarti memuliakan dan meninggikan posisi orang kafir serta memberi jalan bagi orang kafir agar bisa menguasai kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman :
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 141)

Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam dari Allah senantiasa tercurah kepada Nabi  Muhammad SAW, Keluarga, Para sahabat dan kita Selaku Umatnya.
[Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua]
Ada yang berdalil dengan kesahan memilih caleg non-muslim dengan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, di mana ia bercerita,

وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ هَادِيًا خِرِّيتًا، وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-laki dari Bani Ad Diil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang beragama kafir Quraisy. (HR. Bukhari no. 2264).
Ini memang menjadi dalil para ulama akan bolehnya mempekerjakan orang kafir. Namun pembolehannya dengan syarat:
  • Orang kafir tidak memiliki kekuasaan menguasai kaum muslimin
  • Orang kafir tidak merasa di atas kaum muslimin.
    Jadi sah-sah saja jika mempekerjakan orang kafir di pabrik atau untuk proyek pembangunan. Sebagaimana Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bekerjasama dalam Mudhorobah (usaha bagi hasil) untuk mengurus tanaman dengan seorang Yahudi dari Khoibar. Yahudi tersebut lalu mendapatkan separuh dari hasil panen. Adapun jika mempekerjakan non-muslim lantas mereka memiliki kekuasaan pada kaum muslimin atau mereka bisa mengorek berita-berita kaum muslimin, maka seperti ini tidak dibolehkan. Lihat Tadzhib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, hal. 238, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin.
      Jika kita melihat kembali hadits Bukhari yang disebutkan di atas, diterangkan bahwa non-muslim tersebut bertindak sebagai penunjuk jalan saja, bukan ingin memperjuangkan Islam. Itu pun termasuk bentuk tolong menolong yang mubah selama syarat di atas yang kami sebutkan terpenuhi. Sedangkan dalam hal Pemilu, jika caleg non-muslim yang dipilih, maka mustahil ia bisa memperjuangkan Islam di negeri minoritas muslim. Jika yang muslim saja tidak bisa memperjuangkan dakwah Islam di negeri minoritas, bagaimana sampai mengharap dari non-muslim? Apa jika caleg non-muslim terpilih bisa mengajak masyarakat muslim untuk shalat dan menunaikan kewajiban yang lain? Lebih aneh lagi jika yang jadi caleg adalah seorang pendeta dan ia disuruh menyuarakan Islam. Padahal kita tahu sendiri bahwa pendeta itulah yang paling benci pada Islam. Lantas bagaimana bisa jadi penolong atau mau dianalogikan dengan penunjuk jalan di atas?!
Ditambah lagi jika kita kembali di awal dengan mengkritik sistem demokrasi yang jelas menyelisihi prinsip Islam. Dan tidak pernah di negeri kita ini dijumpai partai yang memperjuangkan Islam dengan masuk Parlemen bisa berhasil menegakkan syari’at Islam di tanah air. Bagaimana mungkin para Kyai bisa mengalahkan para preman lewat sistem demokrasi yang menghalalkan segala cara?!
Yang bisa menyadari hal ini jika ia masih membuka hati dan menerima kebenaran.
Hanya Allah yang memberi hidayah dan taufik.



       Semoga artikel tentang Hukum Memilih Calon Pemimpin non-Muslim ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Amin



* Salam UKhuwah Islamiyah dari  Andi Ibnoe Badawi Mazid

Minggu, 23 Maret 2014

Pindah Rumah

     
 
     Seorang pencuri memasuki rumah Nashrudin dan membawa hampir semua harta benda sang mullah ke rumahnya.
Nashrudin melihat semua kejadian itu dari ujung jalan.

Beberapa menit setelah itu, ia mengambil selimut, pergi ke rumah si pencuri, mendahuluinya pulang.
Ketika sampai di rumah si pencuri, Nashrudin berbaring, pura-pura tidur di rumah si pencuri itu.

“Siapa kamu, dan apa yang kamu lakukan di sini?” tanya si pencuri terkejut bercampur heran karena ada orang yang tak dikenalnya.
“Lho, bukannya kita sedang pindah rumah?”

Salah satu ibrah yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah memberikan pelajaran kepada seseorang dengan membuatnya mengalaminya sendiri. Atau, dengan bahasa gampangnya, membuat orang lain berempati.

Misalnya, kisah pemuda yang kepada Rasulullah SAW menyatakan keinginannya untuk berzina.

Alkisah, ada seorang pemuda datang kepada Rasulullah, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk berbuat zina.”

Tiba-tiba, ada beberapa sahabat yang menghampiri dan menegurnya, "Diam!"

Kemudian Rasulullah berkata kepada para sahabat, "Dekatkan ia kepadaku."

Para sahabat menyuruh pemuda itu mendekat kepada Nabi.

Pemuda itu pun mendekat kepada beliau.

Setelah ia duduk, Rasulullah bertanya, "Apakah kamu rela apabila ada orang menzinai ibumu?"

Ia menjawab, "Tidak, demi Allah. Semoga Allah SWT menjadikan aku tebusan bagimu." Kata-kata "tebusan bagimu" dalam tradisi Arab digunakan untuk memperkuat ungkapan sumpah.  

Rasulullah berkata, "Orang lain pun tidak rela apabila ada orang menzinai ibunya."

Rasulullah bertanya lagi, "Apakah kamu rela apabila ada orang menzinai putrimu?"

Ia menjawab, "Tidak, demi Allah. Semoga Allah SWT menjadikan aku tebusan bagimu."

Dan Rasulullah berkata lagi, "Orang lain pun tidak rela apabila ada orang menzinai putrinya."

Kembali Rasulullah bertanya, "Apakah kamu rela apabila ada orang menzinai saudarimu?"

Ia menjawab, "Tidak, demi Allah. Semoga Allah SWT menjadikan aku tebusan bagimu."

Rasulullah berkata, "Orang lain pun tidak rela apabila ada orang menzinai saudarinya…."

Lalu Rasulullah meletakkan tangannya kepada pemuda tadi sambil berdoa, "Ya Allah SWT, ampunilah ia atas dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya."

Setelah peristiwa itu, pemuda tadi tidak berpikir untuk berbuat zina lagi. Ia bertaubat.

        Orang yang normal tentu tidak akan rela bila ibunya, putrinya, atau saudari perempuannya, dizinai. Nah, dalam kisah di atas, Rasulullah memancing empati pemuda itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengandaikan pemuda tersebut dalam posisi anak ibu yang dizinai, ayah putri yang dizinahi, atau saudara laki-laki saudari perempuan yang dizinahi. Dan ternyata pancingan beliau berhasil, pemuda itu sadar dan kemudian tidak pernah lagi terlintas dalam pikirannya untuk berbuat zina.

Demikian pula yang dilakukan Nashrudin. Ia berusaha membuat si pencuri berempati kepadanya, bagaimana kalau yang dicuri adalah barang-barang si pencuri itu sendiri.

Empati, dalam ajaran Islam, adalah ajaran yang sangat nyata. Dalam sebuah hadits  dikatakan, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota badan merintih kesakitan, sekujur badan akan merasakan panas dan demam.” (HR Muslim).

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam kitab At-Targhib juz II/217-218, Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur nyenyak dan kenyang di malam hari sementara tetangganya kelaparan padahal ia mengetahui hal itu."

Alangkah indahnya kehidupan ini bila umat Islam menerapkan ajaran ini. Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dan rahmat yang hakiki adalah kasih sayang yang terdalam terhadap semua makhluk Allah SWT, yang karena itu Nabi SAW diutus ke muka bumi.

Allah SWT berfirman, "Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Mu'minun: 107).

Selain itu kasih sayang terhadap makhluk merupakan syarat utama untuk mendapatkan kasih sayang Sang Pemilik segala kasih sayang. Nabi SAW bersabda, "Sayangilah makhluk yang di bumi, maka Dzat yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR Imam Thabrani).

“Barang siapa tidak menyayangi orang lain,  Allah tidak akan menyayanginya.” (HR Imam Thabrani).
"Sifat penyayang tidak akan dicabut kecuali dari orang-orang yang celaka.” (HR Bukhari).

Kasih sayang seseorang merupakan barometer keimanannya kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, "Kalian tidak akan beriman sehingga kalian menyayangi."

Bahkan empati yang diajarkan Islam, cakupannya lebih luas. Tidak hanya kepada sesama muslim.
Para sahabat pun bertanya, "Wahai Rasulullah, secara keseluruhan kami ini penyayang."

Beliau menjawab, “Kasih sayang bukan kepada teman saja, tetapi kepada manusia seluruhnya.” (HR Imam Thabrani).

Dari hadits itu jelas, Islam mengajarkan agar kita berempati kepada orang lain. Dan empati dalam hal ini adalah terhadap sesama manusia. Tidak pandang suku, ras, bangsa, atau bahkan agama.

Mudah-mudahan Allah menjadikan kita ke dalam golongan umat Nabi SAW yang hatinya dipenuhi dengan kasih sayang. Amin....



         Semoga kisah tentang Pindah Rumah ini bisa bermanfaat, mengisnpirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Amin


* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid

Jumat, 21 Maret 2014

Memilih Kebijaksanaan

    Nashruddin berbincang-bincang dengan seorang hakim kota. Si hakim kota sering berpikir hanya dari satu sisi.
                                                                                                                                                                                                                      

" Seandainya saja setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ...” kata si hakim sedikit ketus.

Nashruddin buru-buru berkata, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukumlah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”

Hakim mencoba mengelak, “Tapi, coba kita lihat cendekiawan seperti Tuan. Kalau Tuan diberi pilihan, kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan Tuan pilih?”

Nashruddin menjawab seketika, “Tentu saya memilih kekayaan.”

Hakim membalas sinis, “Memalukan! Tuan adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Tuan memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?”

Nashruddin balik bertanya, “Kalau pilihan Tuan sendiri?”

Hakim menjawab tegas, “Tentu saya memilih kebijaksanaan.”

Nashruddin berkata, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.

Ibrah yang bisa kita petik dari kisah humor sufi di atas antara lain adalah adab mengkritik.

Tak ada gading yang tak retak. Sesungguhnya kesalahan dan kekhilafan merupakan sifat yang melekat pada setiap diri anak-cucu Adam. Tidak ada seorang pun yang ma'shum selain para nabi dan rasul. Oleh karena itu, setiap manusia mestinya terbuka terhadap kritik.

Meski demikian, ada etika yang patut diperhatikan oleh setiap pihak yang ingin mengkritik pihak yang dipandang bersalah. Antara lain:

 Pertama, kritikan harus didasarkan pada ilmu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Hendaknya setiap orang yang melakukan amar ma'ruf nahi mungkar adalah seorang yang alim terhadap apa yang ia katakan."

Kedua, kritikan disampaikan dengan lembut dan santun. Kelembutan dan kesantunan dalam setiap perkara akan mendatangkan kemudahan. Bersikap lembut adalah hukum yang paling mendasar dalam mengkritik, apalagi pihak yang dikritik adalah seorang tokoh yang memiliki pengikut. Bahkan kepada Fir’aun pun, Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun alaihimassalam untuk menyampaikan kebenaran dengan lemah lembut, “Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya (Fir`aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” – QS Tha-Ha (20): 44.

Dalam mengkritik, bukan hanya substansi yang diutamakan, cara mengkritiknya pun harus dipertimbangkan. Untuk menyampaikan substansi “Tuan belum bijaksana”, Nashrudin tidak mengatakannya demikian, melainkan dengan adab yang halus dan tidak langsung, seperti kalimat di atas, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.”

Ibrah selanjutnya, ucapan Nasruddin, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukumlah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan”, merupakan ungkapan yang mengandung makna mendalam, menghimpun satu intisari penting dalam Islam.

Ungkapan ini bukanlah bermakna bahwa hukum boleh direkayasa untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, melainkan bahwa hukum tidak lain diperuntukkan bagi kebaikan dan maslahat manusia. Itulah sebabnya, sebelum segala sesuatunya, hendaklah seorang penegak hukum dan semisalnya, terutama para muballigh, asatidz, guru, dan lain-lain, mengetahui hakikat manusia dan kemanusiaan itu sendiri, agar tidak salah, terutama, dalam menyikapi dan memperlakukan munusia.

Mengenai hakikat ini, Habib Ali Al-Jufri, dalam satu makalahnya yang berjudul Al-Huriyyah fi al-Manzhur al-Islamy bayn an-Nisbiyyah wa al-Ithlaq, pada  harian Al-Mishr Al-Yaum, edisi Senin, 6 Ramadhan 1428 H/17 September 2007 M, mengutip firman Allah SWT, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’

Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’

Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’.” -- QS Al-Baqarah (2): 30.

Setelah itu beliau menjelaskan, “Perhatikanlah ayat yang menjelaskan ihwal dijadikannya manusia sebagai khalifah di bumi dan ketakutan para malaikat terhadap manusia di atas muka bumi yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan dan pertumpahan darah.

Dengan memperhatikan ayat ini, akan dapat diketahui hikmah dari dipilihnya manusia sebagai khalifah dari awal mula Allah berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’.”

Makna firman Allah ‘Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’ tidaklah menafikan terhadap pemahaman para malaikat bahwa manusia akan berbuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi ini. Melainkan sebagai penetapan terhadap suatu hakikat yang sangat berharga dan penting, yaitu bahwa keberadaan manusia dan kekhilafahannya di bumi, bukanlah bumi itu sendiri yang menjadi maksud dan tujuannya, akan tetapi yang menjadi tujuannya adalah justru manusia.
Bila yang dituju dan yang dimaksud oleh Allah adalah bumi, pastilah Allah akan memilih hamba-hamba-Nya yang akan memakmurkan bumi dengan sebaik-baiknya dan tidak berbuat kerusakan atau berusaha merusaknya. Memakmurkan bumi bukanlah tujuan hakiki, melainkan sebagai perantara untuk mencapai tujuan, yakni terwujudnya penghambaan dengan sebenar-benarnya dari manusia kepada Allah SWT.

Itulah sebabnya, Allah SWT tidak mencegah adanya berbagai bentuk dan beraneka macam rupa perbuatan dalam mengisi bumi dari orang-orang yang menentang perintah-Nya, bahkan dari orang-orang yang mengingkari sama sekali terhadap adanya Allah SAW. Karena orang-orang yang mengingkari terhadap wujud Allah sekalipun tidak lain adalah pemegang gambaran khilafah dari Allah SWT. Akan tetapi, hakikat khilafah itu sendiri tercegah dari mereka. Dan bentuk tercegahnya hakikat khilafah itu dari mereka yaitu tercegahnya tujuan yang ada di balik gambaran khilafah tersebut, yakni memakmurkan bumi dengan cara yang sesuai dengan tuntutan kehendak Sang Pencipta langit dan bumi, petunjuk-petunjuk-Nya, dan juga segala perintah-Nya.”

Setelah memahami secara singkat perihal hakikat penciptaan manusia sebagai khalifah di atas muka bumi, dapatlah kita menyimpulkan bahwa keberhasilan lahiriah bukanlah tujuan utama bagi manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Tujuan utamanya adalah terwujudnya penghambaan yang sebenar-benarnya kepada Allah SWT.

Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, dalam kitabnya, Risalah al-Mu`awnah wa al-Muzhaharah wa al-Mu’azarah li al-Raghibin min al-Mu’minin fi Suluk Thariq al-Akhirah, Dar al-Kutub al-Islamiyah, cetakan pertama 1431 H/2010 M, halaman 21, menukil sebuah hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Manusia itu ada empat golongan: Seseorang yang dikaruniai Allah ilmu dan harta dan orang itu menggunakan hartanya dengan ilmunya. Kemudian seseorang yang lain berkata, ‘Bila saja Allah mengaruniaku seperti yang dikaruniakan kepada orang itu, niscaya aku akan berbuat seperti apa yang ia perbuat.’ Maka kedua orang tersebut sama dalam hal pahala. Dan seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah SWT namun tidak dikaruniai ilmu lalu orang tersebut berbuat keburukan dengan hartanya karena kebodohannya. Kemudian seseorag yang lain berkata, ‘Bila saja Allah mengaruniaku seperti yang dikaruniakan kepada orang itu, niscaya aku akan berbuat seperti apa yang ia perbuat. Maka kedua orang tersebut sama dalam hal dosanya’.”

Hadits ini dengan jelas menegaskan, seseorang dengan niatnya yang tulus karena Allah SWT dalam suatu bentuk ibadah, meskipun ia belum dan bahkan tidak melakukannya, yang pada hakikatnya adalah ridha dengan takdir Allah SWT, niscaya akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berniat dan juga melakukannya, dan demikian pula sebaliknya. Karena, terlaksananya niat dalam wujud perbuatan, semuanya tidak lain adalah semata-mata karunia dan pemberian Allah, sama sekali bukan wilayah kemampuan manusia. Yang dituntut dari manusia hanyalah mengarahkan kehendaknya kepada apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam sebuah proses yang disebut sunatullah. Adapun hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.

Setelah memahami hakikat-hakikat di atas, dapatlah dimengerti bahwa pengandaian sang hakim, “Seandainya saja setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ...” bukanlah pemikiran yang bijak. Karena, bahkan, sesungguhnya Allah pun tidak menghendaki semua makhluk-Nya taat dan patuh kepada-Nya. Kebijaksanaan yang sesungguhnya adalah di saat seorang hamba mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi yang taat kepada Tuhannya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya sebagaimana dibawa dan dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW, baik dalam muamalahnya terhadap Tuhannya, dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Itulah inti perkataan Nasruddin di atas.

Wallahu a`lam bishshawab.


        Semoga kisah tentang Memilih Kebijaksanaan ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Amin


* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid

Api ... Api ... Api

      Hari Jum`at itu, Nashrudin menjadi imam shalat Jum`at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jama’ah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah sang mullah, "Api! Api! Api!"

Segera saja, seisi masjid terbangun, terbelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya, "Di mana apinya?"

Nashrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh kepada yang bertanya. "Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."


               ***        

Di atas dikisahkan, saat sang khatib, Nashrudin, sedang berkhutbah, banyak jama’ah yang terkantuk-kantuk, bahkan tertidur. Lalu, bagaimana hukumnya? Sahkah shalat Jum`at mereka?

Secara hukum, bila seseorang telah ikut shalat Jum’at bersama imam, meskipun ia masbuq (masbuq artinya orang yang tertinggal dari melakukan takbiratul ihram bersama imam dalam shalat jama’ah), sah baginya shalat Jum`at-nya apabila masih mendapatkan ruku` bersama imam pada rakaat yang kedua pada shalat Jum`at yang sah, yakni shalat Jum`at yang terpenuhi syarat rukunnya.

Adapun dalam hal tidur pada saat khutbah Jum`at, dalam kitab Nihayah az-Zayn fi Irsyad al-Mubtadi’in, karya Imam An-Nawawi Al-Bantani, terbitan Daar al-Kutub al-Islamiyah, 2008, halaman 163, disebutkan, “Dan yang dimaksud dengan memperdengarkan khutbah kepada mereka (empat puluh orang) dengan pasti, yakni dengan mengeraskannya khathib suaranya sekira-kira mendengarnya hadirin bila mereka menyimak. Adapun mendengarkannya oleh mereka (empat puluh orang), maka adalah dengan kira-kira, sekalipun mereka tidak mendengarkannya secara pasti karena adanya suara gaduh, atau tidur yang ringan, dan lain halnya dengan karena adanya ketulian, jarak yang jauh, atau tidur yang berat....”

Dengan penjelasan di atas, orang yang mengantuk atau tertidur, yang tidak membatalkan wudhu, tetap sah shalat Jum`at-nya.

Adapun tidur yang karenanya tidak batal wudhu sehingga tetap sah shalatnya adalah yang memenuhi syarat-syarat berikut, sebagaimana disebutkan, di antaranya, dalam kitab at-Taqrirat as-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah, karya Sayyid Hasan bin Ahmad Al-Kaf, terbitan Dar al-`Ulum al-Islamiyah, cetakan keempat, 2006, halaman 101, yaitu sebagai berikut:

Pertama, menetapkan pantatnya di atas bumi (tempat duduknya) di mana pantat (lubang dubur)-nya itu menempel dengan bumi (tempat duduk) sekira-kira tidak mungkin angin dapat keluar darinya.

Kedua, orang yang tidur itu yang memiliki postur tubuh yang sedang, dalam arti tidak kegemukan dan tidak pula terlalu kurus.

Ketiga, bangun dalam keadaan di tempat ia tertidur (tidak berubah posisinya).

Keempat, tidak ada orang ma`shum, menurut Imam Ar-Ramli, memberitahukan keluarnya angin darinya di saat ia tidur. Namun, menurut Imam Ibnu Hajar, cukup orang adil yang memberitahukannya.” Maksudnya, bila sesorang yang adil memberitahukan bahwa ia keluar angin saat tertidur, wajib diterima pemberitahuannya itu dan batal wudhunya.


       Semoga kisah tentang Api ... Api ... Api ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Amin









* Salam Ukhwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid

Malah Mendapat Hadiah

      Pada suatu siang Abu Nawas berada di istana ketika Raja Harun Ar-Rasyid sedang sibuk menerima rombongan tamu dari kerajaan sahabat. Saat itu hanya ada dua orang pelayan. Abu Nawas diminta untuk membantu kedua pelayan itu.



    Ketika Abu Nawas sedang membawa semangkuk gulai yang masih panas untuk hidangan siang, tiba-tiba kakinya terpeleset. Gulai yang dibawanya pun tumpah dan sebagian mengenai muka sang raja.

Sebenarnya Raja sangat marah atas kejadian tersebut. Tetapi karena banyak tamu, ia tahan kemarahannya.




“Maafkan, Tuan-tuan, atas kelakuan pelayan kami yang kurang ajar tadi,” kata Raja.

Dari balik pintu tiba-tiba Abu Nawas membaca sepotong ayat Al-Qur’an, “.... Orang-orang yang bertaqwa, yaitu mereka yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya....”

“Ya, aku memang sedang menahan amarah,” sahut sang raja.

“Dan memaafkan atas kesalahan orang...,” Abu Nawas meneruskan pembacaan ayat.

“Baik, aku memaafkanmu atas kesalahanmu,” sahut Raja.

“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali Imran: 133-134),” Abu Nawas mengakhiri pembacaan ayat itu.

“Hai pelayan, kemari! Ini terimalah uang lima ratus dirham sebagai hadiah,” kata Raja. “Lain kali, tolong kamu siram lagi mukaku dengan gulai, biar kamu bisa menerima hadiah lebih besar lagi dariku.”

***

       Salah satu ibrah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah kemuliaan menahan amarah.
Mungkin ada sebagian orang yang menganggap, orang yang bisa mengumbar amarah adalah orang yang kuat. Tidak, tidak demikian.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Bukanlah kuat itu dengan mengalahkan musuh saat bergulat, akan tetapi kuat itu adalah orang yang bisa menguasai dirinya tatkala marah.” (HR Bukhari Muslim dan Imam Ahmad).

        Pada suatu hari, Nabi melewati sekelompok kaum yang saling bergulat, maka beliau bertanya, “Apakah ini?”
Mereka menjawab, “Dia pegulat yang kuat, tidaklah seorang pun yang bergulat dengannya kecuali dia mengalahkannya.”
Kemudian beliau berkata, “Aku tunjukkan kepada kalian orang yang lebih kuat darinya, yaitu seorang yang dizhalimi namun ia menahan kemarahannya. Ia mengalahkan orang yang menzhaliminya dan mengalahkan setan yang ada pada dirinya serta mengalahkan setan yang ada pada saudaranya.” (HR Al-Bazzar).

        Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya hal demikian itu termasuk keteguhan yang kuat.” (QS As-Syura’: 43).
Jelas dari kedua hadits dan surah Al-Qur’an di atas, justru orang yang mampu menguasai dirinya saat marah adalah orang yang kuat. Bukan orang yang mengumbar amarah dengan berteriak-teriak, mencaci maki, dan sebagainya, misalnya. Sebagaimana yang sering kita saksikan akhir-akhir ini, yang mungkin saja di antara pelakunya adalah saudara kita juga, umat Islam. Di jalanan, bahkan di televisi, yang ditonton seluruh rakyat negeri ini, juga dunia.

Tentu tidak berarti kita anti demo, karena adanya demonstrasi adalah salah satu ciri negeri yang demokratis. Hanya saja, demo yang Islami adalah demo yang tidak mencaci maki, karena Islam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya hal yang demikian. Apalagi demo yang anarkis, karena Islam tidak pernah mengajarkan kepada penganutnya untuk merusak.
Bagi mereka yang mampu menahan amarah, Allah telah menyediakan ganjaran. Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa menahan kemarahannya sedangkan ia mampu untuk melakukannya, Allah Azza wa Jalla akan menyeru dia di hadapan seluruh manusia pada hari Kiamat untuk dipilihkan baginya bidadari yang dikehendakinya.” (HR Abu Daud).

Rasulullah juga bersabda, “Janganlah marah, maka bagimu adalah surga.” (Hadits shahih Al-Jami’).

Lebih dari itu semua, menahan amarah adalah perintah Nabi SAW. Dan karena itu perintah Nabi, tentu kita semua, sebagai umatnya, mesti melaksanakan.
Disebutkan dalam hadits, seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW, “Berilah aku wasiat.”
Beliau berkata, “Janganlah marah.”

Tahap selanjutnya, setelah mampu menahan amarah, yaitu memaafkan. Allah berfirman :
“Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya secara sembunyi dan terang-terangan dan orang yang menahan kemarahan serta memaafkan orang lain, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ali Imran:134).

 “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199).

       Sering kita saksikan di televisi beberapa ahli mengatakan bahwa serang-menyerang antar-rezim terjadi karena dendam sejarah.
Seseorang, atau bahkan rezim, kalau bersalah memang boleh diadili, atau mungkin harus diadili. Tapi dasarnya mestinya adalah upaya penegakan hukum dan keadilan, bukan dendam. Jika dendam yang dijadikan dasar, kesalahan yang kecil pun bisa terlihat besar. Seorang bijak mengatakan, dendam itu ibarat batu kerikil yang meluncur di lembah yang bersalju. Makin jauh, akan makin membesar.
Seseorang, atau bahkan rezim, kalau bersalah memang boleh diadili, atau mungkin harus diadili. Tapi, bukankah memaafkan itu lebih mulia?
       Dalam konteks negeri ini, bisakah kita menutup semua lembaran sejarah kelabu masa lalu? Bisakah kita cukup menjadikannya sebagai pelajaran?
Demi membangun Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang penuh kedamaian, bisakah kita menjadikan langkah kita sekarang ini sebagai langkah awal yang terbebas dari segala macam konflik, atau setidaknya meminimalisir? Kalau kita ikhlas, mau, dan mampu mengendalikan sifat marah, jawabannya jelas: Bisa!


Mengatasi Kemarahan
       Untuk mengatasi kemarahan, Islam memberikan petunjuk.
Pertama, berlindung kepada Allah dari godaan setan. Karena, di samping nafsu yang ada dalam diri kita, peran setan juga sangat dominan dalam membangkitkan amarah.  Rasulullah SAW bersabda, “Aku mengetahui satu kalimat yang, seandainya diucapkan, niscaya akan hilanglah gejolak yang ada pada diri:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (HR Bukhari-Muslim).

Kedua, diam, tidak berbicara. “Apabila salah seorang di antara kalian marah, hendaklah diam.” (HR Imam Ahmad).
Ketiga, tinggalkan tempat, berdirilah, lalu pergi.
Keempat, bersikap tenang, duduk apabila sedang berdiri, atau tidur telentang bilamana sedang duduk. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian marah sedangkan dia berdiri, hendaklah dia duduk, agar kemarahannya hilang. Apabila masih belum mereda, hendaklah berbaring.” (HR Abu Daud).
Kelima, berwudhu. Nabi bersabda, “Marah itu adalah bara api, maka padamkanlah dia dengan berwudhu’.” (HR. Al-Baihaqi).
Keenam, shalat. "Penghapus setiap perselisihan adalah dua raka’at (shalat sunnah).” (HR Silsilah Hadits Shahihah).


Marah yang Terpuji
       Pada umumnya marah memang tercela, tapi ada pula yang terpuji. Misalnya marah karena ajaran-ajaran Allah dihinakan.
Kasus Ahmadiyah, misalnya. Dalam aqidah Islam, jelas, tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW. Pengakuan Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dapat dikategorikan sebagai penistaan terhadap ajaran Islam.


       Semoga artikel tentang Malah Mendapat Hadiah ini bisa bermanfaat, mengisnpirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Amin


* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid