Jika saja peristiwa Nabi Muhammad menikah dengan Aisyah dipahami dengan benar, mungkin tak bakal ada kasus Nujood Ali dan pernikahan perempuan di usia belia lainnya. Bahwa Nabi Muhammad menikah dengan Aisyah ketika ia belum dewasa (akil baligh), itu memang betul. Namun, bahwa mereka berhubungan laiknya suami-istri setelah Aisyah mendapatkan siklus menstruasi pertama tak begitu dihiraukan banyak orang, termasuk oleh Faez Ali Thamer, suami Nujood Ali.
Nujood Ali merupakan seorang bocah perempuan berasal dari desa Khardji, sebuah desa terpencil di Yaman. Namun, keluarganya terpaksa pindah ke kota Sanaa’ karena ada sebuah insiden memalukan yang membuat kehormatan keluarganya tercemar. Karena kepindahan itulah nasib keluarganya kian terpuruk dalam kemiskinan. Bahkan, beberapa anggota keluarganya mesti mengemis di jalan-jalan untuk bisa menyambung hidup.
Dalam kondisi demikian, ada seorang lelaki berasal dari Khardji yang hendak meminang Nujood. Padahal, usianya lebih tua tiga kali lipat dari Nujood yang waktu itu berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Dalam benak ayahnya, ketika Nujood menikah berarti berkurang pula jumlah mulut yang harus ia beri makan. Namun, saat didesak bahwa usia putrinya itu belum layak untuk menikah, ia mencari pembenaran dalam ajaran agama. Dan, pembenaran itu adalah, “Ketika dinikahi Nabi Muhammad, Aisyah baru berumur sembilan tahun.”
Sebenarnya tindakan ayahnya ini merupakan pelanggaran hukum. Pemerintah Yaman telah menetapkan undang-undang tentang pernikahan yang di antara lain berisi bahwa perempuan boleh menikah/dinikahi bila sudah mencapai batas 15 tahun. Namun, orangtua Nujood tak tahu-menahu tentang undang-undang itu. Soalnya, Nujood lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang rata-rata tak mengenyam bangku sekolah. Bahkan, sekadar kartu tanda pengenal atau akta kelahiran pun mereka tak punya (satu hal yang membuat Nujood bingung menetapkan tanggal kelahiran dan usianya ketika ia ditanya berapa usianya ketika menikah).
Yaman merupakan salah satu negara yang penduduknya berpandangan bahwa lumrah belaka bila bocah perempuan menikah/dinikahi pada usia belia. Hal itu yang membuat ibu dan kakak perempuannya tak bisa berbuat banyak dengan keputusan sang ayah. Maka jadilah Nujood menikah dengan seorang lelaki yang tak ia kenal sebelumnya, dan tak pernah mengumbar senyum itu.
Yang memprihatinkan, ibu mertua dan saudara iparnya mengucapkan selamat (mabruk) ketika mereka mendapati Nujood terlelap tak mengenakan sehai benang pun setelah malam pertamanya. Bahkan selain mengucapkan selamat, saudara iparnya tersenyum culas saat mengamati sedikit noda darah di atas seprai yang kusut.
Namun, berbeda dengan seorang istri ketika mengalami malam pertama yang begitu bahagia, Nujood menjalani malam pertamanya dengan getir. Setelah perjalanan panjang dari Sanaa ke Khardji yang memakan waktu hampir seharian di atas mobil, dia terlelap. Tapi, tiba-tiba di malam hari dia terkejut. Saat itu pintu menyentak terbuka, ia mengira pasti angin malam telah berhembus dengan begitu kencang. Namun, dia hampir tak bisa membuka mata ketika merasakan sesosok tubuh berbulu menekan tubuhnya. Ruangan gelap. Dari bau mulut dan gerakannya, Nujood mengenali sosok itu sebagai Faez Ali Thamer, lelaki yang telah menikahinya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, lelaki itu mulai menggosokkan tubuhnya ke tubuh Nujood yang masih bau kencur itu.
Tak terima dengan kondisi itu Nujood berusaha berontak dan melarikan diri, namun gagal. Setelah tertangkap dan membawanya lagi ke kamar, Faez menjatuhkan Nujood ke atas karpet. Ia terus berteriak memanggil ibu mertuanya untuk meminta bantuan, tapi percuma. Dan, malam itu merupakan malam celaka yang mengubah takdir Nujood dari seorang bocah perempuan menjadi seorang istri belia. Setelah malam itu Nujood tak bisa kembali ke dunianya lagi: dunia kanak-kanak yang dipenuhi permainan.
Bahkan, setelah malam itu ia mesti menyesuaikan diri dengan kehidupan baru: ia tidak berhak meninggalkan rumah, tidak berhak mengambil air dari sungai, tidak berhak mengeluh, dan tidak berhak berkata tidak. Bukan hanya itu, saat malam tiba dia akan mengalami peristiwa yang selalu berulang: kebuasan yang sama, penderitaan yang sama. Pintu yang terbanting, lampu minyak yang terguling di lantai, seprai yang terpilin ke mana-mana, dan suara bentakan.
Di hari ketiga, suaminya mulai memukuli Nujood. Hal itu terjadi karena Nujood selalu berusaha menolaknya, dan mencegahnya agar tidak berbaring di karpet. Awalnya dengan tangan, lalu dengan tongkat. Sangat keras. Berulang kali. Dan alih-alih membela Nujood, ibu mertuanya malah menghasut anaknya. Setiap kali suaminya mengeluh tentang Nujood kepada ibunya, ia akan berseru dengan suara parau, “Pukul dia lebih keras lagi. Dia harus mendengarkanmu. Toh, dia istrimu.”
Lengkaplah sudah penderitaan Nujood. Kehidupannya sarat dengan ketakutan permanen karena pukulan dan hantaman. Kadang-kadang suaminya tak segan untuk menggunakan tinjunya. Akibatnya, setiap hari muncul memar baru di punggungnya dan luka baru di tangannya. Kabur? Mustahil, kecuali dia ingin mati karena kehausan. Jarak desa tempat ia tinggal bersama suaminya dengan rumah orangtuanya yang berada di kota Sanaa hampir sehari menggunakan mobil. Dan, tak ada angkutan umum yang datang ke daerah yang entah tertera di peta atau tidak itu. Jadi, kalau ia mau kabur mesti berjalan kaki melalui gurun pasir dan memakan waktu lebih dari sehari.
Beruntung, suatu hari suaminya lelah mendengar tangisan Nujood. Maka, ia diperbolehkan berkunjung ke rumah orangtuanya di Sanaa. Namun, sesampainya di sana Nujood kecewa, karena ternyata orangtuanya malah menekankan dirinya bahwa sebagai seorang istri mesti taat kepada setiap perintah suami. Ketika Nujood menceritakan berbagai kekejaman yang suaminya lakukan, ayahnya menekankan kalimat yang sama. Dan, sebagai sesama perempuan ibunya hanya berkata, “Itulah kehidupan. Setiap perempuan harus mengalami ini. Kita semua menjalani hal yang sama.”
Sampai akhirnya ia mengadukan nasibnya ke Dowla, istri kedua ayahnya. Dowla menasihatinya agar lari ke pengadilan. Dengan bekal uang hasil Dowla mengemis selama sehari di jalanan, ia naik taksi ke pengadilan. Di sana, ia membuat kaget Hakim Abdo saat mengutarakan maksudnya untuk bercerai. Hakim Abdo terkejut dengan fakta bahwa di usianya itu ia sudah menikah dan mengajukan cerai. Namun, di pengadilan itu pula Nujood mendapatkan kepastian hukum dan teman: Shada, salah seorang pengacara wanita terbaik di Yaman yang memperjuangkan hak-hak wanita.
Berkat perjuangan Shada, kasus Nujood menjadi perhatian publik nasional dan internasional. Tanpa dia sadari, Nujood menjadi ikon keberanian kaum perempuan saat ini. Karena itu ia diganjar sebagai Women of The Year oleh Glamour, salah satu majalah wanita terbitan New York, yang menyandingkannya dengan Nicole Kidman, dan Senator Hillary Clinton. Bahkan, Hillary Clinton menyebutnya sebagai salah seorang perempuan terhebat yang dia kenal.
Setelah kasus Nujood mencuat, banyak orang yang mendapatkan inspirasi dari kisahnya. Di antara mereka ada Arwa (9 tahun), Rym (12 tahun), dan seorang gadis berusia delapan tahun di Arab Saudi yang mengajukan perceraian kepada suaminya karena kasus kekerasan.
Meski demikian, tentu masih banyak “Nujood” lain di belahan dunia lainnya yang perlu mendapatkan perlindungan. Namun, karena rata-rata orang menggunakan peristiwa menikahnya Nabi Muhammad dengan Aisyah sebagai pembenaran menikah di usia belia, maka memahami latar belakang atau konteks peristiwa itu dengan baik mutlak diperlukan. Juga harus terus disosialisasikan. Inilah bentuk perlindungan utama.
Semoga saja dijaman semodernisasi ini tidak ada lagi kisah memilkukan seperti yang dialami oleh saudara ( Nujood Ali ) kita ini dan untuk kaum pria dan orangtua cobalah berfikir dengan secara logika dan akal sehat, agar kebahagiaan anak tidak terenggut oleh keegoisan orangtua dan para kaum pria ..
dan Mudah-mudahan ini menjadi suatu pelajaran bagi kita semua ..
Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar