Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari, bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari, lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
- Riwayat Keluarga
 
- Silsilah Nasab
 
- Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin)
 - Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
 - Abdul Halim (Pangeran Benawa)
 - Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
 - Abdul Halim
 - Abdul Wahid
 - Abu Sarwan
 - KH. Asy’ari (Jombang)
 - KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
 
        Menurut catatan nasab Sa’adah Ba Alawi 
Hadramaut, silsilah dari Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) merupakan 
keturunan Rasulullah SAW, yaitu sebagai berikut:
- Husain bin Ali
 - Ali Zainal Abidin
 - Muhammad al-Baqir
 - Ja’far ash-Shadiq
 - Ali al-Uraidhi
 - Muhammad an-Naqib
 - Isa ar-Rumi
 - Ahmad al-Muhajir
 - Ubaidullah
 - Alwi Awwal
 - Muhammad Sahibus Saumiah
 - Alwi ats-Tsani
 - Ali Khali’ Qasam
 - Muhammad Shahib Mirbath
 - Alwi Ammi al-Faqih
 - Abdul Malik (Ahmad Khan)
 - Abdullah (al-Azhamat) Khan
 - Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
 - Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
 - Maulana Ishaq
 - ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)
 
- Pendidikan
 
KH Hasyim Asy'ari belajar dasar-dasar 
agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren 
Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu 
di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, 
Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren
 Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di 
Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub 
inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang 
diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan
 alim dalam ilmu agama. Cukup lama 5 tahun Hasyim menyerap ilmu di 
Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat 
kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat
 ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan 
dengan Khadijah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah 
menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan 
ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah 
istri dan anaknya meninggal.
Tahun 1893, beliau berangkat lagi ke Tanah 
Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada 
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ahmad
 Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh 
Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin
 Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Tahun l899 pulang ke 
Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak 
lama kemudian beliau mendirikan Pesantren Tebuireng, Jombang. Kyai Hasyim 
bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang
 sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai
 Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa 
sawah-sawahnya. Kadang juga pergi ke Surabaya berdagang kuda, besi dan 
menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai 
Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
- Silsilah Keilmuan
 
- KH Muhammad Saleh Darat, Semarang
 - KH Cholil Bangkalan
 - Kyai Ya’qub, Sidoarjo
 - Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
 - Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
 - Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
 - Syaikh Ibrahim Arab
 - Syaikh Said Yamani
 - Syaikh Rahmaullah
 - Syaikh Sholeh Bafadlal
 - Sayyid Abbas Al Maliki
 - Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
 - Sayyid Husain Al Habsyi
 - Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
 - Sayyid Abdullah al-Zawawi
 - Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
 - Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
 - Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
 
- Penerus Beliau
 
         Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai 
Hasyim dan setelah lulus dari pesantren Tebuireng, Jombang, tak sedikit 
di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama 
kondang dan berpengaruh luas, antara lain:
- KH. Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang
 - KH. Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
 - KH. R As’ad Syamsul Arifin
 - KH. Wahid Hasyim (anaknya)
 - KH. Achmad Shiddiq
 - Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
 - Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
 - Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
 - KH. R. Asnawi (Kudus)
 - KH. Dahlan (Kudus)
 - KH. Shaleh (Tayu)
 
(Keturunan)
Berikut disampaikan silsilah keturunan beliau sampai dengan tingkat cucu
Berikut disampaikan silsilah keturunan beliau sampai dengan tingkat cucu
Nyai Khodijah, istri pertama yang 
merupakan putri dari Kyai Ya’qub, Sidoarjo. Meninggal dunia sewaktu Kyai
 Hasyim Asy’ari menuntut ilmu di Mekkah
Nyai Nafiqoh, istri kedua, setelah istri pertama wafat, yaitu putri dari Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
Nyai Nafiqoh, istri kedua, setelah istri pertama wafat, yaitu putri dari Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
- Putra-putri dari Nyai Nafiqoh
 
- Hannah
 - Khoiriyah
 - Aisyah
 - Azzah
 - Abdul Wahid atau sering juga dipanggil sebagai Wahid Hasyim
 - Abdul Hakim (Abdul Kholik)
 - Abdul Karim
 - Ubaidillah
 - Mashuroh
 - Muhammad Yusuf
 
Nyai Masruroh, istri ketiga, setelah 
istri kedua wafat, yaitu putri dari Kyai Hasan, pengasuh Pondok
 Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim 
dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:
- Abdul Qodir
 - Fatimah
 - Khotijah
 - Muhammad Ya’kub
 
- Jasa dan Karya Beliau
 
Jasa Bagi Ahlussunnah wal Jamaah:
Komite Hijaz, sebagai Benteng Islam Tradisional
Sejarah Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz
       Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi 
dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim
 berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping 
Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib 
Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah KH. Ahmad Dahlan, 
pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH. 
Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim 
belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan 
gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah 
pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam 
selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi 
Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah 
menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah.
 Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama 
mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan 
praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, 
reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji 
dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan 
kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam.
 Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan 
kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan 
kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik 
dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat 
Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para 
mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. 
Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia 
berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali
 ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya 
adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak 
demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk 
menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat
 Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa 
adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari 
ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat 
para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan 
Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama
 mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran 
Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim
 tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah 
dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat 
Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam 
perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang 
diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), 
dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering 
disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya 
adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. 
Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai 
kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional 
tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi 
kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah 
sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. 
Komite yang dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah ini bertugas 
menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. 
Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 
menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
         Setelah NU berdiri posisi kelompok 
tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam 
membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang 
terkenal dengan sebutan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim 
diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik 
Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan panjang yang mengungkung 
bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk 
memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
 Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut GKN (Gerakan 
Kebangkitan Nasional). Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke 
mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan
 keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 
1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri
 atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut 
Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk 
memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka 
Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan 
yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh
 utama dibalik pendirian Taswirul Afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah
 (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid 
hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama
 terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, 
pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu 
Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi 
Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam
 yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat 
sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan
 Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. 
Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak 
dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan 
peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari 
keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi 
dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang
 akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan 
kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan 
peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, 
membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH 
Abdul Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu 
Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang
 pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, 
sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat 
Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab 
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, 
yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil 
menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
- Mendirikan Nahdlatul Ulama
 
     Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul 
Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi 
yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari 
yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan shalat 
istikharah, memohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu 
belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin
 berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nan jauh di Bangkalan sana, 
Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil 
lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul 
Arifin (kelak KH R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah 
Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai 
Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng
 membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan 
As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. 
”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya 
lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi 
pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim 
masih menunggu kemantapan hati.
      Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad 
kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai 
Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil 
menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan 
As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara
 Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan 
ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya 
menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah 
Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu 
sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat 
hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa
 gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan 
organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui shalat 
istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 
1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul
 Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai 
Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan 
anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan 
hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham
 pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham 
bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh 
antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan 
praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan 
Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali 
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. 
Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola 
pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi 
masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh 
para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh
 KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide 
Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi 
menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam 
pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau 
Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang 
tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh 
tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para 
Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
     Pada saat pendirian organisasi pergerakan
 kebangsaan membentuk (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) MIAI, Kyai Hasyim 
dengan putranya KH Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode 
tahun 1937-1942).
- Mendirikan Pesantren Tebuireng
 
      Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang 
tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 
meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak 
tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang 
lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari 
bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren
 Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan shalat berjamaah di tratak 
bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal.
 Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat
 menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun pesantren 
Tebuireng, Jombang, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri 
tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan
 hasil yang menggembirakan.
Kyai Hasyim kemudian menikah kembali 
dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan 
Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu:
- Hannah
 - Khoiriyah
 - Aisyah
 - Azzah
 - Abdul Wahid
 - Abdul Hakim (Abdul Kholik)
 - Abdul Karim
 - Ubaidillah
 - Mashuroh
 - Muhammad Yusuf
 
       Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh 
wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri 
Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari 
pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 anak, yaitu:
- Abdul Qodir,
 - Fatimah,
 - Khotijah,
 - Muhammad Ya’kub
 
- Jasa Bagi Indonesia
 
Peran Beliau dalam Kemerdekaan Indonesia
     Perjuangan dan Penjajahan Karena 
pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi 
perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk 
merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun
 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda 
kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah
 jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena 
perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai 
Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa 
tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama 
secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi 
bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian
 mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi 
penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai 
Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. 
Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta 
ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di 
Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah 
Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan
 membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. 
Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran represif  Belanda.
      Pada tahun 1913 M., intel Belanda 
mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia 
tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa
 ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan 
tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang 
sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan 
tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda
 kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan 
pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh 
bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta 
dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga 
masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
     Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia 
Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga 
secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke 
tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi 
kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, 
Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai 
upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang 
adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan 
kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei.
 Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap 
pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan
 ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga 
wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap 
kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. 
Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, 
Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari 
penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, 
Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di
 pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama 
dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga 
salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh, 
segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum 
total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh 
tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke 
Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
     Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan 
dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes 
dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga 
berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam 
menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di 
Jakarta.
    Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara 
NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh 
pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, 
berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan 
mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan 
Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. 
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya,
 meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 
yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar
 dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan 
pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 November kemudian 
diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
       Pada tanggal 7 November 1945 tiga hari 
sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya umat Islam 
membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia 
(Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi 
umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am 
(Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah,
 Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal 
dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, 
Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung 
Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
- Kisah Teladan Beliau
 
Kesan Akhlak dan Kecerdasan:
     Pernah terjadi dialog yang mengesankan 
antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Kholil 
Bangkalan, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya
 nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai 
dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak
 menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. 
Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan 
sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap 
menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil 
tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami 
sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut 
belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” 
katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa
 berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai 
shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan 
kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang 
murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. 
Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga KH Kholil Bangkalan adalah 
kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling 
menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para 
murid dan guru-guru kita.
    Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat 
termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh 
penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus 
pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah 
cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, 
yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga 
lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu 
Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian 
hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu 
menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang 
dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, KH Kholil Bangkalan. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah
 lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian
 tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul 
Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid 
Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Shiddiq adalah beberapa ulama terkenal 
yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng 
merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari
 Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren 
Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di 
seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian 
memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.
- Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC
 
      Salah satu rahasia seorang murid bisa 
berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada 
gurunya. Guru adalah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah 
orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti
 kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang perintah 
sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang tercela dan 
bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid wajib tidak 
menurutinya). Kalau titah guru baik, murid tidak boleh membantahnya.
Inilah yang dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari
 (Pendiri Nahdlatul ‘Ulama). Beliau nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, 
Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik akhlaknya. 
Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi dan 
kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. 
Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu 
teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.
Sebagai murid, Kyai Hasyim tidak pernah 
ngersulo (mengeluh) disuruh gurunya angon sapi dan kambing. Beliau 
terima titah gurunya itu sebagai khidmat (penghormatan) kepada guru. 
Beliau sadar bahwa ilmu dari gurunya akan berhasil diperoleh apabila sang 
guru ridho kepada muridnya. Inilah yang dicari Kyai Hasyim, yakni 
keridhoan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kyai 
Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari KH Kholil
 Bangkalan.
Kalau anak santri sekarang dimodel 
seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung keluar dari pondok. Anak 
santri sekarangkan lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari 
ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara 
ilmu “akhlak” terapannya malah kurang diperhatikan.
      Suatu hari, seperti biasa Kyai Hasyim 
setelah memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya, Kyai Hasyim langsung 
mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim melihat 
gurunya, Kyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang 
mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk
 bertanya kepada Kyai Kholil.
“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya Kyai Hasyim kepada KH Kholil Bangkalan.
” Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. 
Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang 
pembuangan akhir (septictank),” jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.
Mendengar jawaban sang guru, Kyai Hasyim 
segera meminta ijin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan 
diijini. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar 
septictank (kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus dalamnya bagaimana 
dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan sayangnya 
kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke septictank itu
 dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai 
Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil 
ditemukan.
Betapa riangnya sang guru melihat 
muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap do'a: 
“Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudo'akan dengan pengabdianmu dan 
ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, 
tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.
Demikianlah do'a yang keluar dari KH Kholil Bangkalan. Karena yang berdo'a seorang wali, ya mustajab. Tiada 
yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi ulama besar.
 Mengapa bisa begitu? Disamping karena Kyai Hasyim adalah pribadi 
pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya karena gurunya ridho 
kepadanya.
Semoga artikel tentang Biografi KH Hasyim Asy’ari Pendiri NU Tebuireng Jombang ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita khususnya dibidang Herbal & Medicinal Plants . Amin
* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid
Semoga artikel tentang Biografi KH Hasyim Asy’ari Pendiri NU Tebuireng Jombang ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita khususnya dibidang Herbal & Medicinal Plants . Amin
* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid











