Pada suatu hari seperti biasanya, sepulang dari sekolah, Arum
mengajak beberapa temannya untuk mampir ke rumahnya. Mereka pun langsung
masuk ke dalam kamar Arum tanpa menemui Ayah Arum yang sedang terbaring
lemas di ranjang. Lalu, Arum memilih kaset dan memasukkannya ke dalam
tape radio serta menyetelnya dengan suara yang cukup keras. Mereka
sangat menikmati musik tersebut tanpa mempedulikan ayah Arum yang sedang
sakit. Karena tak tahan dengan kelakuan Arum dan teman-temanya, Ardi,
kakak Arum pun keluar dari kamar ayahnya dan menuju ke kamar adiknya
itu. Pintu kamar yang tak terkunci itu pun langsung didorongnya dengan
wajah kesal.
“Arum!! Kecilin suara musiknya
dong!! Ayah kan lagi sakit! Sudah pulang enggak salaman dulu sama ayah,
sekarang kamu malah buat kegaduhan!”, bentak Ardi .
"Dia
itu bukan ayah kita, kak! Lagi pula, dia saja enggak protes, kok malah
kakak sich yang protes!?”, sahut Arum melawan bentakan Ardi.
"Kakak
tahu! Beliau memang bukan ayah kandung kita, tapi beliau sudah lama
tinggal sama kita dan berusaha untuk menjadi ayah tiri yang baik. Jadi,
kamu harus menghormati beliau juga dong Rum !!", kata Ardi menasehati
adiknya.
"Ayah kamu lagi sakit, Rum? Pantasan,
tadi beliau enggak ngajar matematika. Kok, kamu enggak bilang sich Rum?!
Kita jenguk ayah kamu aja yuk!?", Selly seorang teman Arum.
"Jenguk aja sendiri!!", tolak Arum langsung mengusir teman-temannya dan mengunci rapat pintu kamarnya.
"Arum!! Kamu kok gitu sich!? Jangan egois dong!!", tambah teman Arum yang lainnya.
"Biarin aja! Udah sana, kalian jenguk aja tuh guru kesayangan kalian! Aku mau sendirian aja di kamar!!", bentak Arum.
Tak
terdengar balasan dari balik pintu kamar Arum yang terkunci. Ardi
beserta teman-teman Arum pun berjalan menuju kamar ayah tanpa
mempedulikan Arum.
Pukul 20.00 WIB, waktunya
makan malam bersama di rumah Arum. Namun, Arum enggan keluar dari
kamarnya. Sudang dipanggil berkali-kali, ia tetap saja mengurung diri di
kamarnya. Ini memang sudah menjadi kejadian yang lumrah di rumah Arum.
Semenjak ayah kandungnya meninggal dunia dan digantikan oleh ayah
tirinya dua tahun yang lalu, sikap dan sifat Arum menjadi berubah. Ia
tak mau mengganggap ayah tirinya sebagai ayah, apalagi untuk memanggil
"Ayah", terasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Padahal, ayah
tirinya bukan monster seperti yang ada di televisi-televisi. Ayah
tirinya termasuk orang yang baik dan sabar dalam menghadapi tingkah laku
Arum.
"Kok, enggak dimakan Yah?”, tanya Ardi yang mendapati ayahnya sedang termenung meratapi makanan yang ada di piring.
"Ayah
mau nunggu Arum, Di", jawab ayah dengan suara parau. “Arum enggak akan
keluar Yah! Udah, ayah makan duluan aja ya?! Nanti, kalau dia udah mulai
kelaparan juga keluar sendiri”.
“Iya, ayah makan saja duluan. Biar cepat sembuh. Nanti, makanan Arum biar bunda yang antar ke kamarnya”, tambah bunda.
Mereka pun melahap santapan makan malam tanpa kehadiran Arum. Seusai makan malam, bunda mengantar makanan ke kamar Arum.
“Arum . . . ini bunda antarkan makan malam kamu. Kamu pasti sudah laparkan?”. Tak terdengar sedikit jawabanpun dari mulut Arum.
Aku
ambil makanannya enggak ya?? Malas akh!! Nanti aku ambil sendiri aja di
ruang makan. Pokoknya, kalau aku lagi marah, enggak boleh
tanggung-tanggung, harus seharian. Kalau perlu sampai besok! Biar om-om
itu nyadar, kalau kehadirannya di sini cuma ngerepotin keluarga aku.
“Arum!?”, seru bunda.
“Aku udah kenyang bun! Aku enggak mau makan!”.
“Ya sudah”, sahut bunda singkat.
Sekitar
tengah malam, perut Arum mulai keroncongan. Arum pun mengendap-endap
keluar dari kamarnya menuju ke ruang makan. Dibukanya tudung saji yang
tertutup rapi, namun hanya terdapat nasi dan telur dadar.
“Lauknya
kok cuma telur dadar sich? Bunda enggak masak atau lauk yang lainnya
udah pada habis . . .?!”, tanya Arum pada dirinya sendiri.
“Kamu
lapar juga, Rum!?”, kaget bunda dari belakang. “Udah enggak!! Habis,
lauknya cuma telur dadar sich!!”. “Bunda tadi enggak sempat masak, Rum.
Soalnya, bunda harus jagain ayah kamu. Tadi, suhu tubuhnya tinggi lagi.
Lagi pula, uang bunda sudah tinggal sedikit”, ujar bunda.
“Dia
lagi-dia lagi!! Heran ya, kok pada ngebelain dia semua sich?! Dipelet
kali ya!!?? Lagian, sakit-sakitan terus sich!! Jadinya ngabisin uang
bunda dech! Kalau jadi guru honorer tuh, harus rajin ngajar! Jangan
tiduran mulu!!”, ejek Arum.
“Arum!! Kalau ngomong tuh dipikir-pikir dulu ya!? Jangan asal nyeplos aja!!”, bentak bunda.
Arum
pun berlari meninggalkan bundanya menuju kamar dan membanting pintu
kamarnya dengan sekuat tenaga. Bunda sudah tidak tahu harus bagaimana
lagi menasehati putri bungsunya itu. Seisi rumahpun terkejut
mendengarnya. Ardi langsung keluar dari kamar dan menghampiri bunda.
Bunda menangis dalam dekapan Ardi.
“Udah, bunda
jangan nagis lagi ya . . . ?! Bunda kan tahu sendiri bagaimana sikap
Arum sekarang ini. Dia udah enggak seramah dulu lagi. Berubah drastis
bun . . .”, kata Ardi.
Bunda melepas dekapan itu. “Ya sudah, bunda mau mengecek kondisi ayah kamu lagi ya . . .?!”.
"Iya"
Kemudian, bunda dan Ardi pun kembali ke kamarnya masing-masing.
“Arum..
marah-marah lagi ya, Bun? Pasti gara-gara ayah. Saya memang bukan ayah
yang baik buat Arum. Saya sudah merepotkan kamu. Besok, saya akan
mengajar lagi. Saya tidak mau kalau gaji kamu habis untuk membeli obat
saya”, kata ayah dengan suara pelan.
“Ayah
enggak boleh bilang kayak gitu. Lebih baik ayah istirahat dulu,
mengajarnya cuti saja”. “Besok saya tetap akan mengajar”, kata ayah
mantap.
Tiga hari sudah, ayah tidak mengajar
matematika di SMU di mana Arum bersekolah. Setelah kejadian semalam,
ayah pun memaksakan diri untuk pergi mengajar, walau kondisi
kesehatannya belum pulih benar, saat mengajar di kelas Arum, Arum
menunjukkan paras yang tidak senang atas kehadiran ayah tirinya itu.
Arum memang tak pernah memperhatikan ayahnya ketika menjelaskan
pelajaran. Ketika sepulang sekolah, Arum mencoba menyetir mobil milik
temannya di jalan yang cukup sepi. Kerena belum terbiasa menyetir mobil,
pandangan mata Arum kurang fokus ke depan. Tiba-tiba ada seorang bapak
sedang melintas menggunakan sepeda motor butut. Arum yang menyetir
sambil berbicang-bincang dengan teman-temannya itu, tiba-tiba hilang
kendali dan akhirnya,
PLASH..... sepeda motor
itu ditabraknya. Arum dan teman-teman pun keluar dari dalam mobil. Mulut
Arum bagai gawang yang kebobolan bola. Ia terkejut, ternyata orang yang
ditabraknya tak lain adalah ayah tirinya sendiri. Arum panik bukan main
dan langsung melarikan diri.
"Rum!! Beliau ini ayah kamu! Kamu harus bawa dia ke rumah sakit, Rum!!”, teriak salah seorang teman Arum.
“Aku takut!! Nanti kalau aku ditangkap polisi gimana?!”.
“Rum,
kamu harus tanggung jawab dong! Dia itu ayah kamu, Rum!! Kamu enggak
akan ditangkap polisi kalau kamu bawa dia ke rumah sakit!”.
“Dia bukan ayah aku!! Aku enggak mau bawa dia ke rumah sakit!”, tolak Arum.
“Beliau
memang bukan ayah kandung kamu! Tapi beliau tetap ayah yang harus kamu
sayangi, Rum. . . Beliau mungkin juga bukan ayah yang terbaik bagi kamu,
pasti beliau udah berusaha untuk menjadi yang terbaik buat kamu dan
keluarga kamu! Kami ngeliat ketulusan dari mata beliau kok, Rum! Kalau
beliau itu sayang sama kamu. Beliau ayah kamu! Dan beliau juga guru
kita! Kalau beliau enggak tertolong lagi, kita enggak bisa ngerasain
enaknya belajar matematika lagi, Ruml! Sadar dong Rum!!”, nasehat
temannya.
Mendengar nasehat temannya itu, hati
Arum luluh. Di lubuk hatinya yang terdalam, di memori pikirannya yang
jauh, Arum memikirkan kebaikan ayah tirinya itu. Dari kesabarannya,
kebaikannya, keikhlasannya, dan ketabahannya dalam menghadapi Arum.
Dengan cepat, Arum dan teman-temannya membawa ayah ke rumah sakit
terdekat. Arum langsung menghubungi bunda dan kakaknya. Bunda, Arum,
Ardi, dan teman-teman Arum khawatir dengan keadaan pasien itu. Dokter
pun langsung menangani ayah dengan serius. Beberapa jam kemudian, dokter
keluar dari ruangan untuk memberitahu keadaan ayah. Dan ayah pun sudah
tersadar. Mereka semua masuk ke dalam ruangan untuk menjenguk ayah. Arum
berlari dan memeluk hangat tubuh ringkih ayahnya seraya meneteskan air
mata yang sempat tertahan di bola mata indahnya.
“Maafin Arum ya, Yah!? Arum enggak sengaja nabrak ayah”, jujur Arum.
Arum
yang awalnya tidak mau bercerita dengan keluarganya, akhirnya
menceritakan kejadian yang sebenarnya. Awalnya, bunda ingin mengusir
Arum, namun ayah mencegahnya.
“Rum, ayah
senang . . . kamu sudah bisa panggil saya ayah. Ayah ikhlas ditabrak
kamu, asalkan akhirnya kamu bisa menerima dan panggil saya dengan
sebutan ayah”. Sebegitu besarnya pengharapan ayah kepadaku!? Aku emang jahat banget ya!? kata Arum dalam lubuk hatinya.
“Ayah harus lekas sembuh, ya!? Biar bisa ngajar matematika lagi”.
“Iya, nak . . .”.
Arum
seperti tak ingin lepas dari pelukan ayahnya itu,. Bunda dan Ardi pun
memeluk ayah dan Arum. Tak lama berpelukan, Arum pun melepaskan diri
dari dekapan keluarganya itu.
“Arum janji, Arum
akan panggil ayah sekarang dan sampai kapan pun juga. Aku udah lama
enggak ngucapin kata ayah. Aku kangen sama sosok seorang ayah. Maafin
Arum ya, Yah!?”.
“Kamu enggak perlu minta maaf.
Ayah sayang sama kalian. Ayah akan berusaha untuk menjadi seorang ayah
yang terbaik buat keluarga ini, khususnya untuk kamu dan kakak kamu.
Walau mungkin, ayah enggak akan pernah bisa untuk menggantikan ayah
kandung kalian”. Arum dan Ardi menjabat erat tangan ayahnya.
“Arum sayang sama ayah. Maafin Arum, Yah!?”, ucap Arum sekali lagi.
“Kami juga sayang sama pak guru!! Hehehehehe . . .”, tambah teman-teman Arum.
Ayah
dan bunda hanya tersenyum lega. Akhirnya, Arum tersadar juga, bahwa
betapa sabarnya sang ayah untuk menantinya menyambut ayah tirinya.
Sekarang dan seterusnya, Arum akan memanggil “ayah” kepada ayah tirinya
dan hidup bahagia bersama keluarganya. Walau memang, ayah itu bukan ayah
kandungnya.
“Sekali lagi, maafin Arum, Yah!?!”. :)
# Pesan yang bisa diberikan dari kisah ini adalah bukalah hati untuk orang lain khususnya didalam keluarga kita dan percayalah bahwa tidak semua manusia memiliki hati/niatan yang buruk kepada kita dan jika kita sudah bisa belajar menerimanya maka sayangilah orang itu dengan ikhlas dan tulus.
Semoga Kisah Tentang Maafkan Arum ... Ayah ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Amin
* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid
# Pesan yang bisa diberikan dari kisah ini adalah bukalah hati untuk orang lain khususnya didalam keluarga kita dan percayalah bahwa tidak semua manusia memiliki hati/niatan yang buruk kepada kita dan jika kita sudah bisa belajar menerimanya maka sayangilah orang itu dengan ikhlas dan tulus.
Semoga Kisah Tentang Maafkan Arum ... Ayah ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Amin
* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid
0 komentar:
Posting Komentar