skip to main |
skip to sidebar
~ MANAQIB MBAH KHOLIL BANGKALAN (KH. MUHAMMAD KHOLIL) ~
A. Masa Kecil
Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M,
Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan
Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur,
merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim
istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama
Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi
pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga
kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon
kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul
Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul
Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut
terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin
Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan
Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya
kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih
terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia di didik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang
menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu
Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik
Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda.
Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu
yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai
pesantren untuk menimba ilmu.
B. Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya
menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur
di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau
pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau
pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok
Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di
Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya,
masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk
mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang
terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari
Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini
dilakukannya hingga ia dalam perjalanannya itu khatam berkali-kali.
C. Orang yang Mandiri
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama
nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi
dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda
sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup
berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam
bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan
tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di
Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi
buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi
kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan,
seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu
beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an
dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).
D. Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk
menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah
merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali
ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada
orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya,
akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi.
Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang
cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi
menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia
mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung.
Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak
mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru
masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil
menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk
ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri
di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah
Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka
menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah,
agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah
Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia
dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan
Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad
Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa
sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi ( Bima, Sumbawa ).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk
menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para
Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun
kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat
disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak
mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah
semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi
teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara
lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan
Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan
kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.
Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi
ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang
dikagumi dan menjadi panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim
Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama
dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil
yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah
Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang
diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah
timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani,
Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun kaidah
penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan
untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak
ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa
Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan
Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai
ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk
mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil
selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1
kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
E. Ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun
kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan
Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang
Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal
sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil
dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1
Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa
sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan
keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan
itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri
mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota;
sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan.
Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren
lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi,
bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau
Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim
Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu
Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,”
weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang
terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.
F. Geo Sosio Politika
Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas
sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada
siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van
Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil
belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah
Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak?..
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap
penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan
perlawanan.
Pertama : Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah
Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang
berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama
maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa
yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim
Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan
ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia
tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga
dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak keberatan pesantrennya
dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan
harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil,
malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang
tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara,
sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan
diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan
memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut
ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan
sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.
Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab
terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan
bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah
dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang
dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama
Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama
Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang
telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam
medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di
pondok pesantren yang diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh
melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok
pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya
yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang
pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam
sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim
Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas
Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok
Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok
Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren
Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa
(pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin
(pengasuh Pondok Pesantren Asem bagus, Situbondo).
G. Karomah Mbah Kholil
Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru
kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa
dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang
dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar
seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia,
Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah
mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada
seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:
1. Lebah Gaib
Kekeramatan Mbah Kholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib.
Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk
menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan
penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
KH. Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November 1945, Mbah Kholil,
bersama Kyai-Kyai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab
Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan
gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern.
Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan Kyai-Kyai itu bisa
difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah
Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan
lebah gaib piaraannya. Disaat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi
lawan buyar. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian
menghantam lawan.
“Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir
tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama
yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” Papar
KH. Ghozi, cucu KH. Wahab Chasbullah ini.
2. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia
bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada
peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah
Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan
sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan
sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat
perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian,
Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan
nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam
sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH.
Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
3. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari
Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru
Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa.
Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah
dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia
mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan
penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk
berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak
ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena
sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama
berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk
jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil,
muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya
berkata: "Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian."
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung
lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan
membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah
Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.
4. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap
timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu
peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi.
Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil.
Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut
sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu
kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling,
kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada memohon
penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat
“qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah
Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini
saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang
ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal
dari Mbah Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah
masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di
hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa
duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela
diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin
melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan,
namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat
pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan
wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah
Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke
badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan
para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di
ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan
makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan
hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak
itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan
hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan
timun.
5. Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya
angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan
bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak,
tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan
memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun
mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak
ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke
pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama,
toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami
mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke
kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai
ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh.
Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa
yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki
datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada
Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!”
Ucapnya dengan tenang.
“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia
menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu
berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan
yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke
Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan
ditanya: “Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal
hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini
bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan
sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke
Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu
dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah
Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya
bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami
sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah
meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah
beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya
dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan. Takjub
heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya.
Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya
mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di
salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh
arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari
arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali
yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah
Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya
dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang
sangat luar biasa.
6. Belajar Secara Gaib
Mbah Kholil adalah guru utama yang mencetak banyak ulama besar di Jawa
Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku
belajar secara gaib dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan untuk
belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan
berziarah serta bermalam di makam beliau.
Seperti pernah dikisahkan KH. Anwar Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam
Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab Alfiyah, beliau mengalami
kesulitan. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut,
merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.
KH. Anwar Siradj sudah mencoba berguru kepada Kyai-Kyai besar di hampir
semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti
dikisahkan Ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), KH. Anwar Siradj
dapat petunjuk, agar mempelajari kitab Alfiyah di makam Mbah Kholil.
Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh KH. Anwar
Siradj ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia
mempelajari kitab Alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal Alfiyah,”
Jelas Ustadz Salim.
Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan
bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui kalau
perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru
secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.
7. Berguru dalam Mimpi
Pada waktu Mbah Kholil masih muda, ada seorang Kyai yang terkenal di
daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya
terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai
daerah lain, termasuk Madura.
Mbah Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di
hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan,
maka berangkatlah Mbah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan
harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu. Tetapi
alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kyai
Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya
dirundung duka dengan kepergian Kyai Abu Darrin. Namun karena tekad
belajarnya sangat menggelora maka Mbah Kholil muda segera sowan ke makam
Kyai Abu Darrin.
Setibanya di makam Abu Darrin, Mbah Kholil muda lalu mengucapkan salam
lalu berkata: “Bagaimana saya ini Kyai, saya masih ingin berguru pada
Kyai, tetapi Kyai sudah meninggal,” desah Mbah Kholil muda sambil
menangis.
Mbah Kholil muda lalu mengambil sebuah mushaf Al-Quran. Kemudian
bertawassul dengan membaca Al-Quran terus-menerus sampai 41 hari
lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kyai Abu Darrin dalam
mimpinya. Dalam mimpi itu, Kyai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya
kepada Mbah Kholil muda. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Mbah
Kholil muda serta-merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan
Alfiyah.
8. Didatangi Macan
Suatu hari di bulan Syawal. Mbah Kholil tiba-tiba memanggil santrinya.
“Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok
pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada
macan masuk ke pondok kita ini,” Kata Mbah Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri
mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat
hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan
semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu itu belum tampak
juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda
kurus, tidak berapa tinggi, berkulit kuning langsat sambil menenteng
kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah Mbah Kholil, lalu mengucap salam.
Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kyai
malah berteriak memanggil santrinya: “Hei santri semua, ada
macan....macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok,” Seru
Mbah Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar teriakan Kyai kontan saja semua santri berhamburan, datang
sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk
mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan
pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah.
Namun karena tekad ingin nyantri ke Mbah Kholil begitu menggelora, maka
keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu
gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai.
Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang
pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari.
Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam,
akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara tidak diduga, tengah malam Mbah Kholil datang dan membantu
membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa
ke rumah Mbah Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru
pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Mbah
Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Chasbullah. Kelak kemudian hari
santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab
Chasbullah, seorang Kyai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk
komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Chasbullah di
mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan
bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Mbah Kholil.
9. Santri Mimpi dengan Wanita
Pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri
merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa shalat Shubuh
berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar shalat Shubuh berjamaah bukan karena
malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur
dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita
itu adalah istri Mbah Kholil, gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Mbah Kholil marah besar sambil membawa
sebilah pedang seraya berucap: “Santri kurang ajar.., santri kurang
ajar....!”
Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa
heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar
itu.
Shubuh itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi
di belakang pintu masjid. Seusai shalat Shubuh berjamaah, Mbah Kholil
menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya: “Siapa santri
yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Mbah Kholil dengan nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan
seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang
tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar.
Kemudian Mbah Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan
kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid.
Mbah Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata: “Bahar,
karena kamu tidak hadir shalat Shubuh berjamaah maka harus dihukum.
Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini,”
Perintah Mbah Kholil.
Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah
menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat
diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang
sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga
serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan
baik.
“Alhamdulillah, sudah selesai Kyai,” Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis!” Perintah Kyai kepada Bahar.
Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Mbah Kholil.
Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu
disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah
tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan
yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Mbah Kholil
seraya berucap: “Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini,”
Ucap Mbah Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar.
Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan
pesantren Mbah Kholil menuju kampung halamannya. Memang benar, tak lama
setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Mbah Kholil itu,
menjadi Kyai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren
besar di Jawa Timur. Kyai beruntung itu bernama Kyai Bahar, seorang Kyai
besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan, Jawa Timur.
10. Orang Arab dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang shalat Maghrib, seperti biasanya Mbah Kholil
mengimami jamaah shalat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan
Mbah Kholil mengimami shalat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab.
Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan shalat, Mbah Kholil
menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu.
Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab, Habib
menghampiri Mbah Kholil seraya berucap: “Kyai, bacaan Al-Fatihah Antum
(Anda) kurang fasih,” Tegur Habib.
Setelah berbasa-basi beberapa saat, Habib dipersilahkan mengambil wudhu
untuk melaksanakan shalat Maghrib. Tempat wudhu ada di sebelah masjid
itu. “Silakan ambil wudhu di sana,” Ucap Mbah Kholil sambil menunjukkan
arah tempat wudhu.
Baru saja selesai wudhu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan
munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa
Arabnya yang fasih, untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu.
Meskipun Habib mengucapkan bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan
tutul, namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudhu Mbah Kholil datang
menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu,
Mbah Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih.
Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Mbah Kholil
yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan
kejadian ini, sang Habib paham bahwa sebetulnya Mbah Kholil bermaksud
memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak
antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna
dalam ungkapan itu.
11. Jawaban Mbah Kholil kepada Tamunya
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang
ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maaliki
yaumiddin’, Maliki-nya dibaca ‘Maaliki’ (dengan memakai alif setelah
mim), ataukah ‘Maliki’ (tanpa alif). Setelah berdebat tidak ada titik
temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kyai Keramat, Mbah
Kholil Bangkalan.
Ketika itu Kyai yang jadi maha guru para Kyai pulau Jawa itu sedang
duduk di dalam mushala. Saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke
Mushala sontak saja Mbah Kholil berteriak: “Maaliki yaumiddin ya Habib,
Maaliki yaumiddin Habib,” Teriak Kyai Kholil Bangkalan menyambut
kedatangan Habib Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak
perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki Yaumiddin ataukah
Maaliki Yaumiddin itu. Demikian yang diceritakan Habib Luthfi bin Yahya
ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada
Tafsir ath-Thabari.
12. Tongkat Mbah Kholil dan Sumber Mata Air
Suatu hari Mbah Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa
santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di
desa Langgundi, tiba-tiba Mbah Kholil menghentikan perjalanannya.
Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta-merta Mbah Kholil
menancapkan tongkatnya ke tanah.
Dari arah lobang bekas tancapan Mbah Kholil tadi, memancarlah sumber air
yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus
membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai
untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu sampai sekarang masih
ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya
sekitar 1 km sebelah Selatan kompleks pemakaman Mbah Kholil Bangkalan.
H. Silsilah Nasab Mbah Kholil
Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri) adalah titisan
beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan
Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga
“Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad
Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang
bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin
Muhammad Shahib Mirbath Al-Alawi Al-Husaini.
KH. Muhammad Kholil bin KH. Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai Abdul
Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin
Sayyid Sulaiman. Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan
Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya
adalah Sayyid Ali Nurul Alam bin Sayyid Jamaluddin Al-Kubra.
Berikut ini adalah silsilah nasab Mbah Kholil. Terlebih dahulu saya
tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Sunan Kudus, untuk
menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam)
“Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah
pernasaban bangsa Arab.
• Jalur Sunan Kudus
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Kyai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Kyai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.
9. Kyai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10. Kyai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11. Kyai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep.
13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya.
14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus). Dimakamkan di Kudus.
15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus.
16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban.
18. Sayyid Husain Jamaluddin. Dimakamkan di Bugis.
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India.
20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.
21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.
22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.
29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
32. Al-Imam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulullah. Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah
Maka, dari jalur Sunan Kudus, Mbah Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah Saw.
• Jalur Sunan Ampel
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.
13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kyai Sulasi bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.
• Jalur Sunan Giri
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.
11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.
12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.
13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Di sini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Giri, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.
• Jalur Sunan Gunung Jati
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Syarifah Khadijah.
9. Maulana Hasanuddin. Dimakamkan di Banten.
10. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.
11. Sayyid Abdullah Umdatuddin.
12. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Di sini nasab Nyai Khadijah dan Kyai Hamim Kholil bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Mbah Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.
• Jalur Basyaiban
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).
9. Sayyid Umar.
10. Sayyid Muhammad.
11. Sayyid Abdul Wahhab.
12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13. Sayyid Muhammad.
14. Sayyid Hasan At-Turabi
15. Sayyid Ali.
16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17. Sayyid Ali.
18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Di sini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.
Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Mbah Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.
Demikianlah nasab Mbah Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan
sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama
baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu.
Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi
Kyai-Kyai Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam
menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis
laki-laki dan perempuan, akhirnya Kyai-Kyai Jawa/Madura banyak yang
memiliki silsilah lengkap dari berbagai jalur.
Hal ini pernah ditunjukkan kepada seorang Syeikh dari Yaman, beliau
merasa kagum karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam
silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab
tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur
nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah ke atas dengan garis
laki-laki.
I. Kiprahnya dalam Pembentukan NU
Peran Mbah Kholil dalam melahirkan NU pada dasarnya tidak dapat
diragukan lagi. Hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari
muridnya, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU.
Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi bahwa Mbah Kholil bukanlah
tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada KH. Hasyim
Asy’ari sendiri.
Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal
pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang
bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah
seorang Kyai muda yang cukup ternama pada waktu itu: KH. Wahab
Chasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap
gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai
praktik-praktik keagamaan maupun dalam bidang pendidikan dan politik.
Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan
Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya
sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kyai Wahab
selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini
tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke
semua lapisan. Tak terkecuali dari KH. Hasyim Asy’ari, Kyai yang paling
berpengaruh pada saat itu.
Namun, KH. Hasyim Asy’ari awalnya tidak serta-merta menerima dan
merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, KH. Hasyim Asy’ari
melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk
itu tak kunjung datang.
Sementara itu, Mbah Kholil, guru KH. Hasyim Asy’ari, yang juga guru KH.
Wahab Chasbullah, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia
langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang
cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini Kyai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini
kepadanya!” Kata Mbah Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.
“Baik, Kyai,” Jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kyai Hasyim ayat-ayat ini: Wamaa tilka biyamiinika
yaa Muusaa, Qaala hiya ‘ashaaya atawakka-u ‘alaihaa wa abusyyu bihaa
‘alaa ghanami waliya fiihaa ma-aaribu ukhraa. Qaala alqihaa yaa Muusa.
Fa-alqahaa faidzaa hiya hayyatun tas’aa. Qaala Khudzhaa wa laa takhaf
sanu’iiduhaa shirathal uulaa wadhumm yadaka ila janaahika takhruj
baidhaa-a min ghairi suu-in aayatan ukhraa linuriyaka min aayatil
kubraa,” Pesan Mbah Kholil.
As’ad segera pergi ke Tebu Ireng, ke kediaman Kyai Hasyim, dan di
situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kyai Hasyim. Mendengar ada
utusan Mbah Kholil datang, Kyai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan
ternyata dugaan tersebut benar adanya.
“Kyai, saya diutus Kyai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan
tongkat ini kepada Kyai,” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun
itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung
menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kyai Hasyim.
“Ada Kyai,” Jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Mbah Kholil.
Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kyai Hasyim tergetar. Matanya
menerawang, terbayang wajah Mbah Kholil yang tua dan bijak. Kyai Hasyim
menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan
teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk
mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun
Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari,
pemuda As’ad muncul lagi.
“Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” Kata
As’ad. “Kyai juga diminta untuk mengamalkan Yaa Jabbaar, Yaa Qahhaar
(lafadz Asma’ul Husna) setiap waktu,” Tambah As’ad.
Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya
semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah
itu, Mbah Kholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah
belum juga bisa terwujud.
Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang
ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).
Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana Kyai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Mbah
Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain
dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Mbah
Kholil, seorang Kyai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.
J. Tarekat dan Fiqh
Mbah Kholil adalah salah satu Kyai yang belajar lebih daripada satu
madzhab saja. Akan tetapi, di antara madzhab-madzhab yang ada, ia lebih
mendalami madzhab Syafi’i di dalam ilmu fiqh.
Pada masa kehidupan Mbah Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20,
di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua
golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan
sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah
dan lain-lain.
Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Mbah Kholil
dalam tarekat, terbukti bahwa Mbah Kholil dikenal pertama kali
dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dan juga memberikan dan
mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, Mbah Kholil pun diakui sebagai salah satu Kyai yang dapat
menggabungkan tarekat dan fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu
melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syeikh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Mbah
Kholil.
Memang, Mbah Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu
gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan
memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Mbah Kholil. Namun
demikian, perbedaan antara Mbah Kholil dengan kebanyakan Kyai yang
lainnya, bahwa Mbah Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun
menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat.
Mbah Kholil justru meletakkan dan menggabungkan antara keduanya (tarekat
dan fiqh).
Dalam penggabungan dua hal ini, Mbah Kholil mendudukkan tarekat di bawah
fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan
tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi
ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah,
tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun
pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Mbah Kholil tersebut.
K. Peninggalan
Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan
tentang karya Mbah Kholil. akan tetapi Mbah Kholil meninggalkan banyak
sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada
pun peninggalan Mbah Kholil di antaranya:
Pertama: Mbah Kholil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren
sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat
penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun
hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar
di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah
Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Mbah Kholil yang setelah lulus,
mendirikan pesantren. Seperti Kyai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebu
Ireng), Kyai Wahab Chasbullah (Pendiri Pesantren Tambak Beras), Kyai Ali
Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kyai Bisri Musthafa
(Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Mbah Kholil, banyak
muridnya yang di kemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu
seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua: Selain Pesantren yang Mbah Kholil tinggal di Madura –khususnya,
ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia
didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.
Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri), adalah satu
fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren
di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad
(sambungan) dengan para murid Mbah Kholil, yang tentu saja memiliki
kesinambungan dengan Mbah Kholil.
Beliau wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadhan 1341 H/14 Mei 1923 M.
* Semoga Kisah Syeikh KH. Kholil Bangkalan Al-Maduri bisa kita ambil hikmah dan pelajarannya .. Amin :)
5 komentar:
JIKA ANDA BUTUH ANGKA RITUAL 2D.3D.4D. SGP & HK DI JAMIN 100% JEBOL SILAHKAN HUB MBAH KIDUL DI NOMOR (085213285049)ATAU KLIK http://angkajitumbahkidul.blogspot.com :) TRIM'S ROO,MX SOBAT
SAYA BENAR BENAR TIDAK PERCAYA DAN HAMPIR PINSANG KARNA ANKA YANG DIBERIKAN OLEH MBAH KIDUL TERNYATA TEMBUS,AWALNYA SAYA COBA COBA MENELPON DAN SAYA MEMBERITAHUKAN SEMUA KELUHAN SAYA KEPADA MBAH KIDUL,,ALHAMDULILLAH MBAH KIDUL TELAH MEMBERIKAN SAYA SOLUSI YANG SANGAT TEPAT DAN DIA MEMBERIKAN ANKA YANG BEGITU TEPAT..,MULANYA SAYA RAGU TAPI DENGAN PENUH SEMANGAT ANKA YG DIBERIKAN MBAH KIDUL ITU ITU SAYA KALI 100 LEMBAR DAN SYUKUR ALHAMDULILLAH BERHASIL,SESEKALI LAGI MAKASIH BANYAK YAA MBAH,SAYA TIDAK AKAN LUPA BANTUAN DAN BUDI BAIK MBAH KIDUL,JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA SILAHKAN HUBUNGI MBAH KIDUL DI 085-213-285-049
DEMIKIAN KISAH NYATA DARI SAYA TANPA REKAYASA ,
INGAT…!!!! KESEMPATAN TIDAK AKAN DATANG UNTUK KE 2 KALI...
SAYA BENAR BENAR TIDAK PERCAYA DAN HAMPIR PINSANG KARNA ANKA YANG DIBERIKAN OLEH MBAH KIDUL TERNYATA TEMBUS,AWALNYA SAYA COBA COBA MENELPON DAN SAYA MEMBERITAHUKAN SEMUA KELUHAN SAYA KEPADA MBAH KIDUL,,ALHAMDULILLAH MBAH KIDUL TELAH MEMBERIKAN SAYA SOLUSI YANG SANGAT TEPAT DAN DIA MEMBERIKAN ANKA YANG BEGITU TEPAT..,MULANYA SAYA RAGU TAPI DENGAN PENUH SEMANGAT ANKA YG DIBERIKAN MBAH KIDUL ITU ITU SAYA KALI 100 LEMBAR DAN SYUKUR ALHAMDULILLAH BERHASIL,SESEKALI LAGI MAKASIH BANYAK YAA MBAH,SAYA TIDAK AKAN LUPA BANTUAN DAN BUDI BAIK MBAH KIDUL,JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA SILAHKAN HUBUNGI MBAH KIDUL DI 085-213-285-049
DEMIKIAN KISAH NYATA DARI SAYA TANPA REKAYASA ,
INGAT…!!!! KESEMPATAN TIDAK AKAN DATANG UNTUK KE 2 KALI...
mohon di ralat, foto di atas bukanlah foto Syaikhona Kholil Bangkalan, tapi foto dari Din Kemmok julukannya setelah haji adalah H. Holil alamat Karang Bhotoh Bangkalan
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
Posting Komentar