Purwokerto adalah ibukota kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang terletak di selatan Gunung Slamet, salah satu gunung berapi yang masih aktif di pulau Jawa. Purwokerto merupakan salah satu pusat perdagangan dan pendidikan di kawasan selatan Jawa Tengah. Sementara kabupaten Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu di antara keanekaragaman budaya Jawa yang disebut sebagai budaya Banyumasan.
Ciri khas ini ditandai dengan kehasan dialek bahasa, citra seni dan tipologi masyarakatnya. Bentang alam wilayah banyumasan berupa dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan pertanian dengan irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini (gemah ripah loh jinawi).
Dulunya, kawasan ini adalah tempat
penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro setelah perlawanan mereka
dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh, bila hingga masa kini
masih terdapat banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki silsilah
hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya. Keluarga-keluarga
keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang telah menyingkir
dari pusat kerajaan Matararam waktu itu, kemudian menurunkan para
pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh ulama hingga saat ini. Salah satu dari
sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran Diponegoro di kawasan
Banyumas ini adalah Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, Mursyid
Thariqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa
Tengah.
- Silsilah dan Pendidikan
Sudah menjadi tradisi di kawasan
Banyumasan kala itu, apabila ada seorang ibu hendak melahirkan, maka
dihamparkanlah tikar di atas lantai sebagai tempat bersalin. Suatu saat
ada seorang ibu yang telah mempersiapkan persalinannya sesuai tradisi
tersebut, namun rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir. Melihat
hal ini, maka sang suami segera memerintahkan istrinya untuk pindah ke
tempat tidur dan menjalani persalinan di atas ranjang saja. Tak berapa
lama terlahirlah seorang bayi mungil yang kemudian dinamakan Muhammad
Ash’ad, artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat tidur).
Peristiwa ini terjadi di Kedung Paruk
Purwokerto, pada hari Jum’at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H. (1881 M.)
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ash’ad bin Muhammad Ilyas. Kelak bayi
mungil ini lebih dikenal sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung
Paruk Purwokerto. Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro
berdasarkan “Surat Kekancingan” (semacam surat pernyataan kelahiran)
dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash’ad, Abdul
Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA.
Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan
Hamengku Buwono III Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari sang
ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.
Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan
dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja, sebuah
kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini terdapat saudara
Syeikh Abdul Malik yang bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus
saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk
perjalanan menuju Tanah Suci. Ketika menginjak usia 18 tahun, Syeikh Abdul
Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana ia
mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an,
Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327 H. Syeikh Abdul Malik
pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah
Haram.
Selanjutnya ia berkhidmat kepada kedua
orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333
H.) ayahandanya (Muhammad Ilyas) meninggal dalam usia 170 tahun dan
dimakamkan di Sokaraja. Sepeninggal ayahnya, Syeikh Abdul Malik muda
berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar Banyumas,
seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki.
Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah.
Abdul Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama
ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, ia kemudian lebih dikenal
sebagai Syeikh Abdul Malik Kedung Paruk.
Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik
memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Sholawat. Beliau tak kurang membaca shalawat sebanyak
16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an.
Adapun sholawat yang diamalkan adalah sholawat Nabi Khidir As atau lebih
sering disebut sholawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan
itu adalah sholawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan
murid beliau. Adapun sholawat-sholawat yang lain, seperti sholawat
al-Fatih, al-Anwar dan lain-lain.
Beliau juga dikenal sebagai ulama yang
mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat
kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri
beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya
sangat mencintai dan menghormatinya.Beliau disamping dikenal memiliki
hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syeikh Abdul Malik
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang
dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti
Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih
(Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH
Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan
lain-lain. Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan
untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Sholeh berkata
kepada para jamaah, ”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang
akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di
tanah Jawa.”
Tidak lama kemudian datanglah Syeikh
Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya. Hal yang sama juga
dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Kraksaan,
Probolinggo) bahwa ketika Syeikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya
bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku
mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”
- Pengembaraan Mempelajari ilmu Agama dan Guru-Guru
Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin
H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syeikh
Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke
Mekkah untuk menimba ilmu agama. Syeikh Abdul Malik mempunyai banyak
guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci. Diantara
guru-gurunya adalah Syeikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi
al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha’ dan Sayyid Muhammad Syatha’, keduanya
merupakan ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi
Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya. Sebelum berangkat ke tanah Suci,
Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai Muhammad Sholeh bin Umar
Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad’aq (seorang ulama besar yang
berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib ‘Aththas Abu
Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya, Sayyid
Habib Abdullah bin Muhsin al-Atthas Bogor.
Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah
diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syeikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad
Nahrawi al-Makki (Mekkah). Selama bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik
diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab
Syafi’i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk,
tafsir dan qira’ah sab’ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah
tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat
Jabal Qubes. Menurut beberapa santrinya, Syeikh Abdul Malik sebenarnya
tinggal di Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam satu
waktu.
Disamping belajar di tanah Suci selama 15
tahun, beliau juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal
Banyumas, bekerjasama dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini
dilakukan dalam waktu yang relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun
itu tidaklah mutlak. Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan
Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayyid Umar Syatha’ dan Sayyid Muhammad
Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in).
Dalam ilmu hadits, beliau berguru kepada Sayyid Thoha
bin Yahya al-Magribi (ulama Hadhramaut yang tinggal di Mekkah), Sayyid
Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayyid Muhsin al-Musawwa, Asy-Syeikh
Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan
thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu
Bakar al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya), Habib
Abdullah bin Muhsin al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).
Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayyid Ahmad bin Muhammad
Amin Ridhwan, Sayyid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayyid Abbas
al-Maliki al-Hasani (kakek Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani),
Sayyid Ahmad an-Nahrawi al-Makki, Sayyid Ali Ridha. Setelah sekian tahun
menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik
pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada kedua orang tuanya
yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H,
sang ayah, Asy-Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.
Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syeikh Abdul
Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna
menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke
rumah tepat pada hari ke-100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu
umur asy-Syaikh berusia tiga puluh tahun.
- Sepulang dari Pengembaraan Mempelajari ilmu Agama
Sepulang dari pengembaraan, asy-Syaikh
tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama
ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, asy-Syaikh Abdul Malik sering
sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi
pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan asy-Syaikh Mathar
Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.
Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi
ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat
keluasan dan kedalaman ilmunya, Syeikh Abdul Malik pernah memperoleh dua
anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di
Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar.
Pemerintah Saudi sendiri sempat
memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar
Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat
agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang
telah memperoleh gelar al-‘Allamah. Syeikh Ma’shum (Lasem, Rembang)
setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di
rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah
Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul
Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil
(Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji,
Banyumas) yang merupakan kyai-kyai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap
sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syeikh Abdul Malik.
- Perjuangan Fisik
Adalah tidak benar, jika para ulama ahli
tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh, kumal dan mengabaikan
urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun mereka
senantiasa tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitarnya.
Ketika zaman bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri dari
belenggu penjajahan bangsa asing, para ulama ahli Thoriqoh senyatanya
juga turut berjuang dalam satu tarikan nafas demi memerdekakan
bangsanya. Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang,
Syeikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini,
maka ia pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara
kolonial.
Mereka sangat khawatir pada pengaruh
dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap
penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, ia justru meleburkan diri
dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya
yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka beliau
pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan
di perbukitan Gunung Slamet.
Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik
juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim Al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu
Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar
pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami
shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup
dan akhirnya dibebaskan.
- Kepribadian Syaikh Abdul Malik
Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik
memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Dikenal sebagai ulama yang mempunyai
berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang
menunjukan ketinggian akhlakul karimah. Maka amat wajarlah bila
masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.
Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang
sangat sederhana, santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar
sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama kepada
mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup. Santri-santri
yang biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang tinggal di Kedung Paruk
maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuh
waluh, Bojong, juga sanri-santri lain yang tinggal di tempat jauh.
Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan
kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syeikh Abdul Malik mengunjungi
murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian
sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian
Selasanan (Forum silaturrahim para pengikut Thariqah an-Naqsyabandiyah
al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi
dengan pengajian dan tawajjuhan).
- Keluarga Syaikh Abdul Malik
Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad
Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan.
Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih
dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri
gurunya, K Abu Bakar bin H Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri
pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki
bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).
Ada sebuah cerita unik tentang putera
pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah seorang pemuda yang meninggal
dunia sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh Abdul Malik berkata
padanya, “Nak, besok kamu menikah di surga saja ya?” Mendengar ayahnya
bertutur demikian, muka Busyairi terlihat ceria dan hatinya merasa
sangat gembira. Beberapa waktu kemudian, ia meninggal sebelum
berkesempatan menikah.
Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah
Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap.
Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syeikh
Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, “Pak Kyai,
meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong
jangan ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia
dan akhirat.” Mendengar permintaan ini, Syeikh Abdul Malik pun tidak
jadi menceraikannya. Sedangkan istri ketiganya adalah Nyai Hj. Siti
Khasanah, seorang wanita cantik dan sholihah, tetangganya sendiri.
Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hj. Siti
Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syekh Abdul Malik. Dari
puterinya inilah nasab Syeikh Abdul Malik diteruskan.
- Murid-murid Syaikh Abdul Malik
Murid-murid dari Syeikh Abdul Malik
diantaranya KH Abdul Qadir, Kyai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid
Thariqah an-Naqsabandiyah al-Khalidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs
Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib
Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto)
dan lain-lain. Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib
Luthfi bin Yahya, Syeikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya
pun. “Karya-karya al-Alamah Syeikh Abdul Malik adalah karya-karya yang
dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama
maupun shalihin.
Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan sholawat yang beliau himpun sendiri, yaitu al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.” Sholawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka. Selain, menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kyai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.
Pesan Syaikh Abdul Malik
Salah seorang cucu Syeikh Abdul Malik
mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang disampaikan Beliau kepada
cucu-cucunya. Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat
sebagaimana telah dicontohkan Rasululah Saw. Lakukan shalat fardhu pada
waktunya secara berjama’ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada
para generasi penerus sedini mungkin. Kedua, jangan tinggalkan membaca
al-Qur’an. Baca dan pelajari setiap hari serta ajarkan sendiri sedini
mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur’an di manapun berada. Jadikan
sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati
orang-orang yang hafal Al-Qur’an dan qari’-qari’ah serta muliakan
tempat-tempat pelestariannya. Ketiga, jangan tinggalkan membaca
shalawat, baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan teladani kehidupan
Rasulullah Saw serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan
shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.
- Syekh Abdul Malik wafat
Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H.
yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam
Jum’at), Syeikh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan
sholat Isya’ dan masuk ke dalam kamar khalwatnya. Tiga puluh menit
kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada
jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring
dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas
pun berhembus. Syeikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum’at,
selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung
Paruk, Purwokerto.Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan
semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin
Yaa Rabbal ‘Aalamiin….
Semoga artikel tentang Biografi Syeikh Abdul Malik Bin Ilyas - Kedungparuk Purwokerto ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Aamiin
* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid
0 komentar:
Posting Komentar