Ini kisah yang tak mungkin terlupakan. Pertemuan dengan seorang tukang tambal ban yang benar-benar mengubah hidup. Ternyata benar, membantu orang orang lain itu dapat memudahkan aliran rezeki.
Pagi-pagi
buta, dengan berkendara sepeda motor, saya mengantar istri mengikuti
pelatihan Guru. Baru setengah perjalanan, tiba-tiba motor mudah oleng ke
kanan dan ke kiri. Ketika diperiksa, ban depan gembos. Saya merutuk
karena merasa tersinggung.
Bukan apa-apa, saya juga harus membagi
waktu ke kantor supaya tidak terlambat. Tetapi ini malah bocor.
Akhirnya terpaksa istri naik bus kota. Sementara saya mencari tukang
tambal ban terdekat. Nyatanya, sejauh berjalan sambil ngos-ngosan, tak
tampak ada tukang tambal ban. Saya memaki habis-habisan.
Untunglah,
di dekat sebuah pasar, ketemu juga dengan tukang tambal ban. Dengan
semangat segera saja motor saya tepikan. “Maaf pak. Belum operasi.
Mungkin nanti siang atau sore. Saya belum tidur,” kata si tukang tambal.
Amalaakk, rusuh hati saya. Kemudian dia menujukkan beberapa lokasi
tambal ban. Kembali saya merutuk. Jauh nian semua data yang diberikan.
Padahal belum sarapan lagi.
Apalagi, dua lokasi tambal ban juga
cuma terlihat tulisannya saja. Alias belum muncul tukangnya. Saya
melirik jam. Sudah hampir jam delapan. Baru tukang tambal ketiga, saya
bisa bernapas lega. Tanpa bicara terlalu banyak, si tukang langsung main
tangkas. Cepat dan ringkas sekali, batin saya.
“Sampean duduk
saja mas sambil menunggu,” katanya, sembari menunjuk kayu persegi
panjang. Namun belum sempat duduk, saya merasakan sakit di perut. Saya
jadi ingat, sebelum berangkat saya masih sempatkan minum kopi sisa tadi
malem. Mungkin itulah penyebab sakitnya perut. Saya mengamati sekitar,
tak ada tanda-tanda toilet. Pinggir jalan semuanya rumah-rumah besar
yang tak mungkin saya tumpangi ke toilet.
“Pak, saya kan sedang
sakit perut ya. Kira-kira di mana ya pak, ada toilet?” pak tukang tambal
ban menoleh. Ia tampak berpikir sebentar. Ia menoleh ke arah depan.
Saya baru paham maksudnya. Di depan, tepat sebrang jalan, terdapat
sungai besar Kali Mas. Sungai besar itu dibentang jalan dengan jembatan
melegkung. Tapi, mana mungkin buang hajat di sungai besar begitu? Bisa
keliatan semua pengendara jalan ya lumayan memalukan tokh?
“Masak di sungai pak? Apa tidak ada tempat lain?”
“Bukan di sungainya mas. Tapi di bawah jembatannya.”
“Bawah jembatan?? Maksudnya?”
“Coba
nanti sampean sebrangi jalan. Turun di sisi jembatan. Tepat di bawah
jembatan kan ada pembatas sungainya. Sampean beolnya pas di bawah
jembatan itu. Di situ juga tempat saya tidur..”
Saya melongo. Tempat tidur??
“Sampean
bingung? Mari saya antar saja,” tukas pak Tamban Ban. Kami bersama
menyebrang jalan. Saat tiba di pinggir sungai, ternyata tepi pagar
sungai memiliki jalan kecil berukuran setengah meter. Kami melompat ke
jalan kecil. Pak Tambal Ban menunjuk ke bawah Jembatan. Di sana,
terlihat pagar bambu yang menutupi batas antara luar dan dalam jembatan.
“Sampean
buka pintunya. Masuklah, di sana ada tempat tidur saya. Ada tangga
turun ke sungai juga. Hati-hati ya mas..” jelasnya detil. Saya segera
bergerak, sementara pak Tambal Ban naik kembali ke atas jalan raya.
Saya
termangu saat pintu dibuka. Pas di tengah jembatan, terlihat bangunan
kecil yang dipagar kayu dan kardus. Sepertinya, itulah rumah yang
dimaksud pak Tambal Ban. Saya mengelus dada. Bagaimana ia bisa betah
tidur di tempat macam ini. Apa ia tidak khawatir, tiba-tiba air sungai
meluap?
Saya segera mendekati rumah teramat sangat-sangat paling
sederhana (RTSSPS) itu. Sebab isi perut makin tak bisa ditahan lagi.
Langkah saya sempat terhenti, tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak di
dalam rumah mungil. Sesuatu itu seperti bangun. Dan, kepalanya terlihat
jelas. Rasanya wajah terasa pias dan pucat saat tahu apa yang bergerak
itu. Saya segera bersiap-siap jika terjadi sesuatu membahayakan.
Apalagi, saat kepalanya menoleh, dan lidahnya menjulur-julur mengerikan.
Guk, guk, gukkkkkkk!!
Anjing!
Sialan.
Pekik saya membatin sembari ambil langkah seribu. Binatang paling saya
takuti itu terus saja menyalak keras. Membuat jantung serasa mau copot,
berlari melompati pagar. Baru berhenti pas di awal turun sungai. Menata
napas yang kencang.
“Loh, kok cepat sekali mas?” tanya pak Tambal
Ban. Saya tersenyum simpul. Gara-gara dicekam rasa takut, keinginan
saya buang besar jadi hilang. Kembali saya duduk di kayu persegi
panjang. “Iya. Terima kasih pak. Wah, nggak tau saya jadinya jika tak
dikasih tahu tadi,” jelas saya pura-pura. Tetapi beruntung juga, salakan
itu Anjing bisa redakan isi perut. Pak Tambal Ban cuma membalas senyum.
“Asli Surabaya pak?” tanya saya.
“Oh,
tidak nak. Saya asli Nganjuk. Di Surabaya, saya hanya nyari nafkah,”
katanya. Saya terhenyak. Dari Nganjuk? Sampai sejauh itu cari nafkah?
Apa mencukupi hasilnya?
“Sehari bisa dapat pelanggan berapa pak?”
tanya saya, untuk mengetahui taksiran penghasilan. “Kalau sekarang
nggak nentu Nak. Nggak kayak zaman dulu. Kadang sehari malah nggak dapat
objekan sama sekali. Kadang bisa dapat 3 atau 4 objekan. Kalau dapat
banyak, tapi kan tenaga juga terbatas bila sekaligus.”
Saya
manggut-manggut. Pembicaraan kami terus berlangsung, sembari pak Tambal
Ban menyelesaikan tugas. Untuk urusan pulang kampung, pak Tambal Ban
pulkam setiap bulan. Uang sebulan hasil nambal ia tabung sedemikian rupa
sehingga cukup buat hidup di Surabaya, biaya pulkam dan tentu saja,
buat tambahan nafkah istri dan anak-anaknya.
“Kenapa nggak nyari kerja di Nganjuk saja pak?”
“Haha,
ya pekerjaan ini sudah saya mulai sejak tahun 80-an nak. Mau kerja di
kampung, memangnya saya mau kerja apa? Sawah nggak punya. Ya nggak
apa-apa, yang penting Tuhan masih memberikan saya pekerjaan, yang bisa
buat nyukupi anak-istri,” katanya tenang.
Saya terharu. Saya
belum bisa membayangkan, bagaimana caranya bapak ini bisa mengatur biaya
hidupnya. Hidup di bawah jembatan, mungkin bagian dari caranya
menghemat pengeluaran.
“Sudah nak. Silahkan dicek dulu,” katanya.
Saya segera cek kondisi ban. Setelah yakin ban sudah aman, saya
memberinya uang nominal duapuluh ribuan.
“Waduh nakk. Ini kan
masih pagi. Saya tidak ada uang kembalian. Apa nggak ada yang pas saja?” saya
memeriksa dompet, saku dan tas. Kosong melompong. “ Sampean bawa saja
dulu. Kalau dapat pecahan, ke sini lagi aja,” katanya mengusulkan. Baik
banget sih, batin saya. “ Tak usah kembalian pak. Buat sampean saja
semuanya.”
“ Loh? Semuanya? Uang sebanyak begini???
Sudah nak, nggak apa-apa kok. Rezeki itu sudah ditentukan yang Mahakuasa. Sampean bawa saja.
Itu kebanyakan kalau saya ambil semua. Kasihan sampean itu..”
“ Santai aja pak. Ambil saja,” tegas saya.
“ Sebanyak
ini? ” saya mengangguk heran. Ia menatap saya tak percaya. Sepertinya
ia merasa nominal uang itu memang terlalu besar sebagai pembayaran
nambal ban. Saya langsung hidupkan gas motor. Segera berlalu dari
hadapannya. Meninggalkannya yang masih termangu.
Sepanjang perjalanan, saya tak habis pikir. Kok ya ada orang macam pak
Tambal Ban. Sosok pekerja keras, mau hidup prihatin di rumah bawah
jembatan, dan menabung uang meski tak seberapa demi anak-istri.
Lebih-lebih,
ketika terngiang raut wajah tak percayanya ketika menerima uang dua
puluh ribuan. Uang yang buat saya bisa habis 1-2 hari. Tapi buat pak
Tambal Ban, mungkin bisa buat tambahan tabungan, buat pulkam dan beli
oleh-oleh anak di rumah.
Saya jadi merasa bersalah sama Tuhan.
Mengeluh karena pekerjaan dengan gaji yang tak seberapa, belum cukup
buat beli rumah sendiri, mengeluh belum punya HP BB, mengeluh makan saja
di warung biasa, bukan di restoran. Juga kenapa saya tidak ditakdirkan
jadi anggota dewan saja, bisa beli mobil dan rumah sendiri.
Tetapi
pak Tambal Ban kini berhasil mengubah semua kehidupan saya. Kini saya
merasa sudah kaya raya. Ya, apa sih kebutuhan saya yang tak terpenuhi
dalam hidup ini?
Motor saya punya, kontrakan bagus bisa saya
sewa, pekerjaan satu tempat dengan keluarga saya miliki, handphone juga
ada, televisi di ruang tamu, dan masih banyak lagi yang lain. Betapa,
banyaknya anugerah rezeki dari yang Mahakuasa!
Satu lagi, untung saja saya bukan koruptor. Jadi, tak perlu masuk penjara.
Semoga Cerpen Tentang Belajar Arti Kehidupan dari Pak Tua yang Sederhana ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Aamiin
* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid
Semoga Cerpen Tentang Belajar Arti Kehidupan dari Pak Tua yang Sederhana ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Aamiin
* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid
0 komentar:
Posting Komentar