- Profil Kabupaten
- Profil
- Sejarah
- Geografi
- Pemekaran Wilayah
- Topografi
- Wilayah Perairan
- Hidrologi
- Luas Wilayah dan Batas Administrasi
- Demografi
- Agama
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Seni dan Budaya
- Sosial Ekonomi
- Wilayah Pengembangan
- Pengembang Serang Selatan
- Pengembangan Serang Utara
- KEK Bojonegara
- Potensi Unggulan Daerah
- Pengembangan Serang Timur
- Pengembangan Industri
- Pengembangan Serang Barat
- Pertanian Lahan Basah
- Pertanian Lahan Kering
- Pertanian Tanaman Tahunan
- Pariwisata dan Jasa
- Pengembangan Tambang
Profil Kabupaten Serang
Secara Geografis wilayah Serang terletak pada koordinat 50 50’ - 60 21’ Lintang Selatan dan 1050 0’ - 1060 22’ Bujur Timur. Jarak terpanjang menurut garis lurus dari utara ke selatan adalah sekitar 60 km dan jarak terpanjang dari barat ke timur sekitar 90 km, dengan luas wilayah 1.467,35 km2, dan berbatasan langsung dengan wilayah lain yaitu:- Sebelah Utara dengan Laut Jawa
- Sebelah Timur dengan Kabupaten Tangerang
- Sebelah Barat dengan Kota Cilegon dan Selat Sunda
- Sebelah Selatan dengan Kabupaten Lebak dan Pandeglang.
Pembentukan Kota Serang dengan Undang
Undang nomor 32 tahun 2007 telah melepas 6 wilayah kecamatan dari
wilayah Kabupaten Serang. Secara letak geografis Kota Serang berada di
tengah Kabupaten Serang, sehingga pusat pemerintahan Kabupaten secara
bertahap akan pindah dari wilayah Kota Serang. Hal ini tentunya
memerlukan pengkajian yang sangat mendalam dari segala aspek untuk
meminimalisir akibat yang tidak selaras dengan tujuan pemekaran wilayah.
Secara fisik, Kabupaten Serang
merupakan daerah yang sangat potensial dan amat diuntungkan. Posisi
geografis dalam aksesibilitas keluar wilayah Kabupaten Serang cukup
strategis, karena dilalui oleh Jalan Tol Jakarta – Merak yang merupakan
akses utama menuju Sumatera melalui Pelabuhan penyeberangan Merak, dan
sebagai daerah penyangga (hinterland) Ibukota Negara, mengingat jaraknya jika diukur melalui jalan Tol Jakarta – Merak hanya 70 Km.
Secara administratif, Kabupaten Serang terdiri atas 308 Desa yang berada di 28 Kecamatan sebagai berikut:
- Anyar
- Bandung
- Baros
- Binuang
- Bojonegara
- Carenang
- Cikande
- Cikeusal
- Cinangka
- Ciomas
- Ciruas
- Gunungsari
- Jawilan
- Kibin
- Kragilan
- Kramatwatu
- Kopo
- Mancak
- Pabuaran
- Padarincang
- Pamarayan
- Petir
- Pontang
- Pulo Ampel
- Tanara
- Tirtayasa
- Tunjung Teja
- Waringin Kurung
Sejarah Kabupaten SerangSejarah Kabupaten Serang tidak dipisahkan dari sejarah Banten pada umumnya, karena Kabupaten Serang merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten yang berdiri pada abad ke-16 dengan pusat pemerintahannya terletak di Serang (sekarang menjadi bagian wilayah Kota Serang).
Sebelum abad ke-16, berita-berita
tentang Banten tidak banyak tercatat dalam sejarah, konon pada mulanya
Banten masih merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Sunda. Menurut
salah satu versi sejarah, dahulu ketika tanah Sunda masih dalam
kekuasaan Kerajaan Pajajaran (zaman Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi :
1482-1521 M), di Banten sudah terdapat 2 (dua) buah kerajaan, yaitu
Kerajaan Banten Girang dan Kerajaan Banten Pasisir. Banten Girang
dipimpin oleh Adipati Suranggana, dan Banten Pasisir dipimpin oleh
Adipati Surosowan. Keduanya itu konon adalah putra Prabu Siliwangi buah
perkawinannya dengan Dewi Mayang Sunda.
Adipati Surosowan mempunyai seorang
puteri bernama Kawung Anten yang kemudian diperistri oleh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari Cirebon. Dari pasangan ini
terlahir seorang anak laki-laki bernama Sabakingking.
Sebagai putra Sunan Gunung Jati,
Sabakingking mewarisi kepandaian ilmu agama Islam dan ahli dalam
memerintah sebuah kerajaan. Maka setelah berhasil menaklukkan Banten
Girang pada tahun 1525, dan mempersatukannya dengan Banten Pasisir,
Sabakingking mendirikan kesultanan Islam di Banten yang pertama. Atas
prakarsa SyarifHidayatullah, pusat pemerintahan yang semula bertempat di
Banten Girang dipindahkan ke Banten Pasisir. Penobatan Sabakingking
dengan gelar “Maulana Hasanuddin” sebagai pemimpin dan yang meng-
Islam-kan Banten, dilakukan pada tanggal 1 Muharram 933 H yang
bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M.
Pada masa Sultan Hasanuddin telah
dibangun sebuah keraton sebagai istana kesultanan yang berfungsi sebagai
pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kota yaitu Keraton
Surosowan. Keraton ini dibangun sekitar tahun 1552-1570, dan konon
dikemudian hari melibatkan seorang arsitek berkebangsaan Belanda, yaitu
Hendrik Lucasz Cardeel (1680–1681), yang memeluk Islam yang bergelar
Pangeran Wiraguna. Dinding pembatas setinggi 2 meter mengitari area
keraton sekitar kurang lebih 3 hektar. Surosowan mirip sebuah benteng
Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng yang berbentuk intan)
di empat sudut bangunannya. Bangunan di dalam dinding keraton tak ada
lagi yang utuh. Hanya menyisakan runtuhan dinding dan pondasi
kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.
Keraton
Surosowan ini memiliki tiga gerbang masuk, masing- masing terletak di
sisi utara, timur, dan selatan. Namun, pintu selatan telah ditutup
dengan tembok, tidak diketahui apa sebabnya. Pada bagian tengah keraton
terdapat sebuah bangunan kolam berisi air berwarna hijau, yang dipenuhi
oleh ganggang dan lumut. Di keraton ini juga banyak ruang di dalam
keraton yang berhubungan dengan air atau mandi-mandi (petirtaan). Salah
satu yang terkenal adalah bekas kolam taman, bernama Bale Kambang Rara
Denok. Ada pula pancuran untuk pemandian yang biasa disebut “pancuran
mas”.
Kolam Rara Denok berbentuk persegi
empat dengan panjang 30 meter dan lebar 13 meter serta kedalaman kolam
4,5 meter. Ada dua sumber air di Surosowan yaitu sumur dan Danau
Tasikardi yang terletak sekitar dua kilometer dari Surosowan.
Strategi
Sultan Hasanuddin (dan sultan Banten lainnya di kemudian hari) dalam
mengembangkan ajaran Islam adalah dengan cara-cara yang sesuai dengan
adat budaya masyarakat Banten pada masa itu, yaitu adu kekuatan dan
penampilan ketangkasan yang dikemas dalam wujud permainan debus. Dengan
demikian sedikit demi sedikit masyarakat Banten menyadari dan tertarik
untuk mengikuti syariat Islam.
Setelah Sultan Hasanuddin wafat pada
tahun 1570, tampuk pemerintahan diteruskan oleh puteranya yaitu Maulana
Yusuf sebagai Sultan Banten yang kedua (1570-1580), dan selanjutnya
digantikan oleh Raja/Sultan ketiga, keempat, dan seterusnya sampai yang
terakhir Sultan ke-21 yaitu Sultan Muhammad Rafiudin yang memerintah
pada tahun 1809-1816.
Pada zaman kesultanan ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa penting terutama pada akhir abad ke-16 (Juni 1596) di mana orang- orang Belanda dating untuk pertama kalinya mendarat di Pelabuhan Banten di bawah pimpinan Cornellis de Houtman dengan maksud untuk berdagang. Namun sikap yang kasar dari bangsa Belanda tidak menarik simpati pemerintah dan rakyat Banten sehingga sering terjadi perselisihan di antara orang-orang Banten dengan orang-orang Belanda. Sultan Banten yang bertahta pada saat itu adalah Sultan ke-4 yaitu Abdul Mufakir Muhammad Abdulkodir yang ketika itu masih bayi, sedangkan yang bertindak sebagai walinya adalah Mangkubumi Jaya Nagara yang wafat tahun 1602 dan kemudian diganti oleh saudaranya, Yudha Nagara.
Sultan Abdul Mufakir Abdulkodir
mempunyai putera yang bernama Abdul Ma’ali Ahmad Rahmatullah yang
menjadi Sultan Banten ke-5 memerintah pada tahun 1643-1651. Sultan
Banten ke-5 mempunyai putera yang di kemudian hari menjadi Sultan Banten
ke-6 yaitu Abdul Fatah yang dikenal dengan julukan Sultan Ageng
Tirtayasa. Dan memegang kekuasaan dari tahun 1651-1680. Pada zaman
pemerintahannya, bidang politik, perekonomian, perdagangan, pelayaran,
kebudayaan dan keagamaan berkembang pesat. Untuk memajukan pertanian
rakyat Banten, pembangunan yang paling terkenal pada masa Sultan Ageng
Tirtayasa adalah pembangunan irigasi. Demikian juga kegigihannya
menentang penjajahan Belanda.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa
sering terjadi perlawanan atau peperangan dengan kompeni Belanda yang
pada waktu itu berkuasa di Batavia. Dengan cara politik adu domba dengan
puteranya yaitu Sultan Haji Abdul Kohar yang memihak kepada Belanda,
akhirnya dengan memperalat puteranya itu, kompeni Belanda dapat
melumpuhkan kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Batavia, kebesaran Banten mulai redup dan berakhirlah masa
keemasannya karena sultan-sultan Banten selanjutnya sudah semakin
dipengaruhi oleh kompeni Belanda sehingga kedudukan pemerintahan
Kesultanan Banten semakin goyah dan lemah. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Ishak Zainul Muttaqien (1805-1808) dan Sultan Muhammad
Aliyuddin II (1808- 1810) terjadi pengorbanan jiwa dan kerja paksa
rakyat Banten oleh Gubernur Jenderal Daendels saat mendirikan pangkalan
angkatan laut di Ujung Kulon. Dan kemudian ketika Belanda bermaksud
memperlancar mobilisasi persenjataan serta rempah-rempah telah dibangun
jalan dari Anyer sampai Panarukan Banyuwangi yang pada saat itu dapat
menyingkat perjalanan 40 hari menjadi 6 hari. Pembangunan jalan
sepanjang 1000 KM ini telah mengorbankan dan menindas habis- habisan
rakyat Banten sebagai tenaga kerja paksa.
Tahun 1816 kompeni Belanda di bawah
pimpinan Gubernur van der Capellen datang ke Banten dan mengambil alih
kekuasaan Banten dari Sultan Muhammad Rafiudin. Selanjutnya, Belanda
membagi wilayah Banten menjadi tiga bagian (Kabupaten) yaitu Banten Lor
(Serang), Banten Kidul (Lebak) dan Banten Kulon (Caringin) dengan kepala
negerinya disebut regent (bupati). Sebagai regent pertama untuk Serang
diangkat putera kesultanan yaitu Pangeran Arya Adisantika (1816- 1827)
dengan pusat pemerintahan bertempat di Keraton Kaibon, Kasemen.
Sedangkan untuk Lebak diangkat sebagai regent Pangeran Jamil Senjaya
(1816-1830). Dan untuk Caringin diangkat regent Mandura Raja Jayanegara
(1827-1840).
Pusat pemerintahan Serang di Keraton
Kaibon mengalami beberapa kali penghancuran akibat peperangan.
Penghancuran keraton oleh kompeni Belanda juga dilakukan terhadap pusat
pemerintahan Keraton Surosowan dan proses penghancuran berlangsung
sampai dengan tahun 1832. Sisa reruntuhan keraton yang masih bisa
dipakai, konon kemudian dibawa ke Serang untuk membangun gedung-gedung
Belanda dan diantaranya yang kini menjadi Pendopo Gubernur Banten dan
Pendopo Kabupaten Serang.
;Pada tahun 1945 setelah Jepang
menyerah kepada sekutu, di Serang terjadi perebutan senjata antara
Kempetai (Jepang) dengan rakyat dan orang Indonesia yang menjadi tentara
Jepang. Tentara Jepang kemudian berhasil diusir meninggalkan Serang.
Sementara di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan
kemerdekaan Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan,
kekuasaan keresidenan beralih dari tangan Jepang kepada Republik
Indonesia, dan sebagai residen pada waktu itu adalah Tb. Ahmad Chotib
dan Bupati Serang adalah K.H. Syam’un. Selanjutnya untuk jabatan camat
banyak diangkat dari kalangan ulama.
Pada tahun 1946/1947 terjadi Agresi
Belanda I. Banten/Serang menjadi daerah blokade masuknya serbuan
Belanda, dan sempat terjadi putus hubungan dengan pusat pemerintahan di
Yogyakarta. Pada saat itu daerah Banten atas izin dari pemerintah pusat
mencetak uang sendiri yaitu Oeang Republik Indonesia Daerah Banten
(ORIDAB).
Pada tanggal 19 Desember 1948, terjadi
Agresi Belanda II tentara Belanda berhasil masuk ke daerah
Banten/Serang selama satu tahun, dan setelah Konferensi Meja Bundar
(KMB) tahun 1949, Belanda kembali meninggalkan Banten/Serang.
Selanjutnya Serang menjadi salah satu daerah otonom Tingkat II di
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Sejak tahun 1945 hingga sekarang, di
Serang tidak pernah terjadi peristiwa-peristiwa makar dan tidak pernah
terpengaruh oleh gerakan ekstrim kiri (PKI) maupun ekstrim kanan
(DI/TII).
Berdasarkan sejarah tersebut, pemerintahan di Serang telah mengalami empat kali peralihan kekuasaan yaitu:
- Pemerintahan kesultanan Banten selama 290 tahun (1526-1816)
- Pemerintahan Hindia Belanda selama 126 tahun (1816-1942)
- Pemerintahan Jepang selama 3,5 tahun (1942-1945)
- Pemerintahan Republik Indonesia sejak tahun 1945
Pengangkatan Maulana Hasanuddin
sebagai Sultan Banten pertama pada tanggal 1 Muharram 933 H yang
bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M, oleh Pemerintah Kabupaten
Serang diresmikan sebagai Hari Jadi Kabupaten Serang berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 1985 yang ditetapkan pada tanggal 6
Agustus 1985 dan diundangkan dalam lembaran daerah sejak tangal 20
Agustus 1985.
0 komentar:
Posting Komentar