Minggu, 18 Agustus 2013

Maafkan Arum ... Ayah

    
     
  
 
 
         Pada suatu hari seperti biasanya, sepulang dari sekolah, Arum mengajak beberapa temannya untuk mampir ke rumahnya. Mereka pun langsung masuk ke dalam kamar Arum tanpa menemui Ayah Arum yang sedang terbaring lemas di ranjang. Lalu, Arum memilih kaset dan memasukkannya ke dalam tape radio serta menyetelnya dengan suara yang cukup keras. Mereka sangat menikmati musik tersebut tanpa mempedulikan ayah Arum yang sedang sakit. Karena tak tahan dengan kelakuan Arum dan teman-temanya, Ardi, kakak Arum pun keluar dari kamar ayahnya dan menuju ke kamar adiknya itu. Pintu kamar yang tak terkunci itu pun langsung didorongnya dengan wajah kesal.

“Arum!! Kecilin suara musiknya dong!! Ayah kan lagi sakit! Sudah pulang enggak salaman dulu sama ayah, sekarang kamu malah buat kegaduhan!”, bentak Ardi .

"Dia itu bukan ayah kita, kak! Lagi pula, dia saja enggak protes, kok malah kakak sich yang protes!?”, sahut Arum melawan bentakan Ardi.

"Kakak tahu! Beliau memang bukan ayah kandung kita, tapi beliau sudah lama tinggal sama kita dan berusaha untuk menjadi ayah tiri yang baik. Jadi, kamu harus menghormati beliau juga dong Rum !!", kata Ardi menasehati adiknya.

"Ayah kamu lagi sakit, Rum? Pantasan, tadi beliau enggak ngajar matematika. Kok, kamu enggak bilang sich Rum?! Kita jenguk ayah kamu aja yuk!?", Selly seorang teman Arum.

"Jenguk aja sendiri!!", tolak Arum langsung mengusir teman-temannya dan mengunci rapat pintu kamarnya.

"Arum!! Kamu kok gitu sich!? Jangan egois dong!!", tambah teman Arum yang lainnya.

"Biarin aja! Udah sana, kalian jenguk aja tuh guru kesayangan kalian! Aku mau sendirian aja di kamar!!", bentak Arum.

Tak terdengar balasan dari balik pintu kamar Arum yang terkunci. Ardi beserta teman-teman Arum pun berjalan menuju kamar ayah tanpa mempedulikan Arum.

Pukul 20.00 WIB, waktunya makan malam bersama di rumah Arum. Namun, Arum enggan keluar dari kamarnya. Sudang dipanggil berkali-kali, ia tetap saja mengurung diri di kamarnya. Ini memang sudah menjadi kejadian yang lumrah di rumah Arum. Semenjak ayah kandungnya meninggal dunia dan digantikan oleh ayah tirinya dua tahun yang lalu, sikap dan sifat Arum menjadi berubah. Ia tak mau mengganggap ayah tirinya sebagai ayah, apalagi untuk memanggil "Ayah", terasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Padahal, ayah tirinya bukan monster seperti yang ada di televisi-televisi. Ayah tirinya termasuk orang yang baik dan sabar dalam menghadapi tingkah laku Arum.

"Kok, enggak dimakan Yah?”, tanya Ardi yang mendapati ayahnya sedang termenung meratapi makanan yang ada di piring.

"Ayah mau nunggu Arum, Di", jawab ayah dengan suara parau. “Arum enggak akan keluar Yah! Udah, ayah makan duluan aja ya?! Nanti, kalau dia udah mulai kelaparan juga keluar sendiri”.

“Iya, ayah makan saja duluan. Biar cepat sembuh. Nanti, makanan Arum biar bunda yang antar ke kamarnya”, tambah bunda.

Mereka pun melahap santapan makan malam tanpa kehadiran Arum. Seusai makan malam, bunda mengantar makanan ke kamar Arum.

“Arum . . . ini bunda antarkan makan malam kamu. Kamu pasti sudah laparkan?”. Tak terdengar sedikit jawabanpun dari mulut Arum.

Aku ambil makanannya enggak ya?? Malas akh!! Nanti aku ambil sendiri aja di ruang makan. Pokoknya, kalau aku lagi marah, enggak boleh tanggung-tanggung, harus seharian. Kalau perlu sampai besok! Biar om-om itu nyadar, kalau kehadirannya di sini cuma ngerepotin keluarga aku.

“Arum!?”, seru bunda.
“Aku udah kenyang bun! Aku enggak mau makan!”.
“Ya sudah”, sahut bunda singkat.

Sekitar tengah malam, perut Arum mulai keroncongan. Arum pun mengendap-endap keluar dari kamarnya menuju ke ruang makan. Dibukanya tudung saji yang tertutup rapi, namun hanya terdapat nasi dan telur dadar. 

“Lauknya kok cuma telur dadar sich? Bunda enggak masak atau lauk yang lainnya udah pada habis . . .?!”, tanya Arum pada dirinya sendiri.

“Kamu lapar juga, Rum!?”, kaget bunda dari belakang. “Udah enggak!! Habis, lauknya cuma telur dadar sich!!”. “Bunda tadi enggak sempat masak, Rum. Soalnya, bunda harus jagain ayah kamu. Tadi, suhu tubuhnya tinggi lagi. Lagi pula, uang bunda sudah tinggal sedikit”, ujar bunda.

“Dia lagi-dia lagi!! Heran ya, kok pada ngebelain dia semua sich?! Dipelet kali ya!!?? Lagian, sakit-sakitan terus sich!! Jadinya ngabisin uang bunda dech! Kalau jadi guru honorer tuh, harus rajin ngajar! Jangan tiduran mulu!!”, ejek Arum.

“Arum!! Kalau ngomong tuh dipikir-pikir dulu ya!? Jangan asal nyeplos aja!!”, bentak bunda.

Arum pun berlari meninggalkan bundanya menuju kamar dan membanting pintu kamarnya dengan sekuat tenaga. Bunda sudah tidak tahu harus bagaimana lagi menasehati putri bungsunya itu. Seisi rumahpun terkejut mendengarnya. Ardi langsung keluar dari kamar dan menghampiri bunda. Bunda menangis dalam dekapan Ardi.

“Udah, bunda jangan nagis lagi ya . . . ?! Bunda kan tahu sendiri bagaimana sikap Arum sekarang ini. Dia udah enggak seramah dulu lagi. Berubah drastis bun . . .”, kata Ardi.

Bunda melepas dekapan itu. “Ya sudah, bunda mau mengecek kondisi ayah kamu lagi ya . . .?!”.
"Iya"
Kemudian, bunda dan Ardi pun kembali ke kamarnya masing-masing.

“Arum..  marah-marah lagi ya, Bun? Pasti gara-gara ayah. Saya memang bukan ayah yang baik buat Arum. Saya sudah merepotkan kamu. Besok, saya akan mengajar lagi. Saya tidak mau kalau gaji kamu habis untuk membeli obat saya”, kata ayah dengan suara pelan.

“Ayah enggak boleh bilang kayak gitu. Lebih baik ayah istirahat dulu, mengajarnya cuti saja”. “Besok saya tetap akan mengajar”, kata ayah mantap.

Tiga hari sudah, ayah tidak mengajar matematika di SMU di mana Arum bersekolah. Setelah kejadian semalam, ayah pun memaksakan diri untuk pergi mengajar, walau kondisi kesehatannya belum pulih benar, saat mengajar di kelas Arum, Arum menunjukkan paras yang tidak senang atas kehadiran ayah tirinya itu. Arum memang tak pernah memperhatikan ayahnya ketika menjelaskan pelajaran. Ketika sepulang sekolah, Arum mencoba menyetir mobil milik temannya di jalan yang cukup sepi. Kerena belum terbiasa menyetir mobil, pandangan mata Arum kurang fokus ke depan. Tiba-tiba ada seorang bapak sedang melintas menggunakan sepeda motor butut. Arum yang menyetir sambil berbicang-bincang dengan teman-temannya itu, tiba-tiba hilang kendali dan akhirnya,

PLASH..... sepeda motor itu ditabraknya. Arum dan teman-teman pun keluar dari dalam mobil. Mulut Arum bagai gawang yang kebobolan bola. Ia terkejut, ternyata orang yang ditabraknya tak lain adalah ayah tirinya sendiri. Arum panik bukan main dan langsung melarikan diri.

"Rum!! Beliau ini ayah kamu! Kamu harus bawa dia ke rumah sakit, Rum!!”, teriak salah seorang teman Arum.

“Aku takut!! Nanti kalau aku ditangkap polisi gimana?!”.

“Rum, kamu harus tanggung jawab dong! Dia itu ayah kamu, Rum!! Kamu enggak akan ditangkap polisi kalau kamu bawa dia ke rumah sakit!”.

“Dia bukan ayah aku!! Aku enggak mau bawa dia ke rumah sakit!”, tolak Arum.

“Beliau memang bukan ayah kandung kamu! Tapi beliau tetap ayah yang harus kamu sayangi, Rum. . . Beliau mungkin juga bukan ayah yang terbaik bagi kamu, pasti beliau udah berusaha untuk menjadi yang terbaik buat kamu dan keluarga kamu! Kami ngeliat ketulusan dari mata beliau kok, Rum! Kalau beliau itu sayang sama kamu. Beliau ayah kamu! Dan beliau juga guru kita! Kalau beliau enggak tertolong lagi, kita enggak bisa ngerasain enaknya belajar matematika lagi, Ruml! Sadar dong Rum!!”, nasehat temannya.

Mendengar nasehat temannya itu, hati Arum luluh. Di lubuk hatinya yang terdalam, di memori pikirannya yang jauh, Arum memikirkan kebaikan ayah tirinya itu. Dari kesabarannya, kebaikannya, keikhlasannya, dan ketabahannya dalam menghadapi Arum. Dengan cepat, Arum dan teman-temannya membawa ayah ke rumah sakit terdekat. Arum langsung menghubungi bunda dan kakaknya. Bunda, Arum, Ardi, dan teman-teman Arum khawatir dengan keadaan pasien itu. Dokter pun langsung menangani ayah dengan serius. Beberapa jam kemudian, dokter keluar dari ruangan untuk memberitahu keadaan ayah. Dan ayah pun sudah tersadar. Mereka semua masuk ke dalam ruangan untuk menjenguk ayah. Arum berlari dan memeluk hangat tubuh ringkih ayahnya seraya meneteskan air mata yang sempat tertahan di bola mata indahnya.

“Maafin Arum ya, Yah!? Arum enggak sengaja nabrak ayah”, jujur Arum.

Arum yang awalnya tidak mau bercerita dengan keluarganya, akhirnya menceritakan kejadian yang sebenarnya. Awalnya, bunda ingin mengusir Arum, namun ayah mencegahnya.

“Rum, ayah senang . . . kamu sudah bisa panggil saya ayah. Ayah ikhlas ditabrak kamu, asalkan akhirnya kamu bisa menerima dan panggil saya dengan sebutan ayah”. Sebegitu besarnya pengharapan ayah kepadaku!? Aku emang jahat banget ya!?  kata Arum dalam lubuk hatinya.

“Ayah harus lekas sembuh, ya!? Biar bisa ngajar matematika lagi”.
“Iya, nak . . .”.

Arum seperti tak ingin lepas dari pelukan ayahnya itu,. Bunda dan Ardi pun memeluk ayah dan Arum. Tak lama berpelukan, Arum pun melepaskan diri dari dekapan keluarganya itu.

“Arum janji, Arum akan panggil ayah sekarang dan sampai kapan pun juga. Aku udah lama enggak ngucapin kata ayah. Aku kangen sama sosok seorang ayah. Maafin Arum ya, Yah!?”.

“Kamu enggak perlu minta maaf. Ayah sayang sama kalian. Ayah akan berusaha untuk menjadi seorang ayah yang terbaik buat keluarga ini, khususnya untuk kamu dan kakak kamu. Walau mungkin, ayah enggak akan pernah bisa untuk menggantikan ayah kandung kalian”. Arum dan Ardi menjabat erat tangan ayahnya.

“Arum sayang sama ayah. Maafin Arum, Yah!?”, ucap Arum sekali lagi.
“Kami juga sayang sama pak guru!! Hehehehehe . . .”, tambah teman-teman Arum.

Ayah dan bunda hanya tersenyum lega. Akhirnya, Arum tersadar juga, bahwa betapa sabarnya sang ayah untuk menantinya menyambut ayah tirinya. Sekarang dan seterusnya, Arum akan memanggil “ayah” kepada ayah tirinya dan hidup bahagia bersama keluarganya. Walau memang, ayah itu bukan ayah kandungnya.

“Sekali lagi, maafin Arum, Yah!?!”. :)


# Pesan yang bisa diberikan dari kisah ini adalah bukalah hati untuk orang lain khususnya didalam keluarga kita dan percayalah bahwa tidak semua manusia memiliki hati/niatan yang buruk kepada kita dan jika kita sudah bisa belajar menerimanya maka sayangilah orang itu dengan ikhlas dan tulus.



Semoga Kisah Tentang Maafkan Arum ... Ayah ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Amin



* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid

0 komentar:

Posting Komentar