Selasa, 21 Mei 2013

Pesan Hidup Dari Bocah Penjual Koran

       
       Dari pagi hujan mengguyur kota tanpa henti, udara yang biasanya sangat panas, hari ini sangat dingin. Di jalan hanya sesekali mobil yang lewat, hari ini hari libur membuat orang kota malas untuk keluar rumah.

        Di perempatan jalan, Umar seorang anak kecil menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah, Dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, hanya saja ia begitu erat melindungi koran dagangannya dengan lembaran pelastik.

" korannya, Bu, seru Umar berusaha mengalahkan suara air hujan.

         Dari balik kaca si Ibu menatap dengan kasihan, dalam hatinya ia merenung anak sekecil ini harus berhujan-hujanan untuk menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar uang Dua puluh ribuan dari limpatan dompet dan sedikit membuka kaca mobil untuk mengulurkan lembaran uang.

" Mau koran yang mana bu ? .. tanya Umar dengan riang ..
Ngak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi saya juga sudah baca ",  jawab si Ibu.

        Si Umar kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkan kembali uang Dua puluh ribuyang dia terima." Terimakasih Bu, Saya menjual koran, kalau ibu mau beli koran silahkan, tetapi kalau ibu memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya," Umar berkata penuh dengan muka ketulusan.

        Dengan geram si Ibu menerima kembali pemberiannya, raut mukanya tampak kesal, dengan cepat dinaikanya kaca mobil. Dari dalam mobil ida menggerutu, "Udah miskin sombong!. Kakinya menginjak pedal gas karena lampu menunjukan warna hijau. Meninggalkan Umar yang termenung penuh tanda tanya. Umar berlari lagi kepinggir, dia mencoba merapatkan kembali tubuhnya ke dingding ruko tempatnya berteduh. Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil termenung dia menatap nanar rintik-rintik hujan didepannya, " Ya Tuahn, hari ini belum satupun koran ku yang laku,". gumamnya lemah.

         Hari beranjak sore namun hujan belum juga reda, Umar masih saja duduk berteduh diemperan ruko, sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar. Tiba-tiba didepannya sebuah mobil berhenti, seorang bapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah, "Tukang gorengan sialan, minyak kaya gini bisa bikin batuk", dengan penuh kebencian dicampakannya satu pelastik gorengan ke dalam tong sampah dan beranjak kembali masuk ke mobil. Umar dengan langkah cepat menghampiri laki-laki yang ada di mobil. "Mohon maaf pak, bolehkah saya mengambil makanan yang baru saja bapak buang untuk saya makan", pinta Umar dengan penuh harap. Pria itu tertegun, luarbiasa anak kecil di depannya. Harusnya dia bisa saja mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta ijin. Muncul perasaan belas kasihan dari dalam hatinnya.

         "Nak, bolehkah bapak bertanya, kenapa kamu harus meminta ijinku, untuk makanan yang sudah aku buang?, dengan lembut pria itu bertanya dan menatap wajah anak kecil didepannya dengan penuh perasaan kasihan." Karena saya melihat bapak yang membuangnya, saya akan merasakan enaknya makanan halal ini, kalau saya bisa meminta ijin kepada pemiliknya, meskipun buat bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi saya makanan ini sangat berharga, dan saya pantas untuk meminta ijin memakannya," jawab si anak sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.

          Pria sejenak terdiam, dalam batinnya berkata, anak ini sungguh luarbiasa. "Satu lagi nak, aku kasihan melihatmu, aku lihat kamu basah dan kedinginan, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya," Si anak kecil tersenyum dengan manis.

         " Maaf pak, bukannya saya menolak rejeki dari Bapak. Bagi saya makan sekantong gorengan ini sudah lebih dari cukup. Kalau saya mencampakan gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain yang menurut Bapak lebih layak, maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir, basah oleh air hujan dan hanya akan menjadi makanan tikus."

          "Tapi bukanlah kamu mensia-siakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik dan nikmat dengan makan di restoran dimana aku yang akan mentraktirnya," ujar sang laki-laki dengan nada agak tinggi karena merasa akan kecil didepannya berfikir keliru.

           Umar menatap wajah laki-laki didepannya dengan tatapan yang sangat tedu,. " Bapak!, Saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantong gorengan hari ini. Saya lapar dan bapak mengijinkan saya memakannya," Umar memperbaiki posisi duduknya dan berkata kembali, "Dan saya merasa berbahagia, bukankah bahagia adalah bersyukur atas anugerah hari ini, bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini tetapi menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya kembali dikemudian hari. " Umar berhenti berbicara sebentar, lalu diciumnya tangan laki-laki di depannya untuk berpamitan. Dengan suara lirih dan tulus Umar melanjutkan kembali, "kalau hari ini saya makan di restoran dan menikmati kelezatannya dan keesokan harinya dan saya menginginkannya kembali sementara bapak tidak lagi mentraktir saya,maka saya sangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan kebahagaiaanya."

          Laki-laki itu masih saja terpana, dia mengamati anak kecil didepannya yang sedang sibuk merapikan koran dan kemudian berpamitan pergi. "Ternyata bukan dia yang harus dikasihani, Harusnya aku yang layak dikasihani, karena aku jarang bisa berdamai dengan hari ini."


Semoga kisah Umar si penjual koran ini bisa membuka mata hati kita agar senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita selama ini ..

* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid dan Andi Ibnoe Badawi Mazid 





 



0 komentar:

Posting Komentar