Senin, 05 Januari 2015

Biografi Urwah bin Zubair


  • Ibunda Urwah bin Zubair
Pernahkah pembaca mendengar kisah hidup Urwah bin Zubair?

        Dialah tokoh kenamaan yang dikelilingi oleh tokoh-tokoh pilihan. Ayahandanya adalah Zubair bin Awwam, pembela Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira akan masuk jannah. Sedangkan saudara kandungnya adalah Abdullah bin Zubair, seorang pahlawan Islam yang masih masuk dalam kategori sahabat Nabi dan masuk dalam kategori ulama. Kakaknya ini adalah bayi pertama yang lahir di bumi hijrah (Madinah).

        Urwah tidak seberuntung kakaknya yang sempat melihat Nabi, karena selisih umurnya sekitar 20 tahun, sehingga beliau tidak berkesempatan bertemu dengan Nabi. Beliau harus rela menjadi tabi’in bukan sahabat. Tapi bukan tabi’in biasa. Beliau termasuk salah satu dari tujuh fuqaha Madinah yang terkenal keilmuan, kezuhudan, dan ketakwaannya. Merekalah yang menjadi penasehat pribagi Umar bin Abdul Aziz tatkala menjabat sebagai gubernur Madinah.

Yang paling membanggakan, Allah menakdirkan ia lahir dari rahim seorang shahabiah ternama, Asma binti Abu Bakar Ash-Shiddiq yang digelari Dzatun Nithaqain. Urwah kecil dibesarkan dalam nuansa yang sarat dengan nilai-nilai ketakwaan, keilmuan, dan akhlak yang mulia.
Ya, dari keluarga Abu Bakar yang penuh berkah itu.

Asma’ adalah shahabiah yang terkenal keilmuan dan ketakwaannya. Pengorbanannya yang luar biasa dalam menyukseskan hijrah Rasulullah, dan wanita inilah yang akan kita bahas selanjutnya.

Bibinya ialah Ummul Mukminin Aisyah, wanita paling brilian dalam sejarah manusia. Kakeknya ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Khalifah Rasulullah dan sahabat karibnya di dunia dan akhirat.
Allah seakan ingin mengumpulkan berkah yang bertebaran tadi dalam diri Urwah.

Ahmad bin Abdillah Al-Iiji
mengatakan, “Urwah bin Zubair adalah lelaki shalih yang tak pernah terlibat dalam fitnah apa pun.”
Qabishah bin Dzuaib menceritakan, “Dahulu aku dan Abu Bakar bin Abdurrahman bermajelis dengan Abu Hurairah, namun Urwah mengalahkan kita karena ia bermajelis dengan Aisyah, manusia paling alim.”
“Dia seperti lautan yang tak pernah mengering airnya.”
“Satu dari empat orang suku Quraisy yang kudapati ilmunya seluas samudera,” kata Imam Az-Zuhri tentang gurunya yang satu ini.

Urwah bin Zubair termasuk salah seorang hafizh dan faqih. Ia menghafal hadits dari ayahnya. Ia amat rajin shaum, bahkan tatkala ajal menjemputpun ia dalam keadaan shaum. Ia mengkhatamkan seperempat Al-Quran setiap harinya. Ia selalu bangun malam dan tak pernah meninggalkannya kecuali sekali saja, yaitu malam ketika kakinya harus diamputasi.

Diamputasi..??

Ya.., saat itu para tabib telah kewalahan mengobati kanker kulit yang dideritanya. Penyakit itu menjalar dari kaki sampai ke betis. Sedikit demi sedikit kakinya mulai membusuk.
Mereka khawatir jika dibiarkan, pembusukan itu akan merebak ke seluruh kakinya bahkan ke tubuhnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengamputasi saja bagian yang membusuk tadi.
Dengan lemah lembut, mereka menawarkan kepadanya agar mau meminum khamr supaya tidak kesakitan selama proses amputasi dilakukan.
Namun, apa jawabnya?

“Tak pantas rasanya bila aku menenggak barang haram sambil mengharap kesembuhan dari Allah.”

“Kalau begitu, kami akan memberimu obat bius,” Kata para tabib.

“Aku tak ingin salah satu anggota badanku diambil tanpa terasa sakit sedikitpun, aku justru berharap pahala yang besar dari rasa sakit itu,” Tukas Urwah.

Sesaat kemudian masuklah sejumlah orang yang tak dikenalnya.
“Siapa mereka?” Tanya Urwah.

“Mereka orang-orang yang siap memegangimu, karena rasa sakitnya boleh jadi membuatmu tak sabar dan lepas kontrol,” Kata para tabib.

“Kurasa kalian tak perlu melakukannya, Insya Allah aku sanggup mengendalikan diriku,” Kata Urwah dengan tabah.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Urwah akhirnya berkata pada para tabib,
“Jika memang tak ada cara lain, maka baiklah, akau akan shalat, dan silahkan tuan-tuan mengamputasi kakiku ketika itu!” Jawabnya dengan penuh keyakinan.”

Akhirnya proses amputasi dilakukan. Mereka memotong kakinya pada bagian lutut, sedangkan Urwah diam dan tak merintih sedikitpun ketika itu. Ia benar-benar tersibukkan oleh sholatnya, sampai-sampai gesekan-gesekan gigi-gigi gergaji itu seakan tak terasa olehnya, Subhanallah!
Usai pengamputasian, mereka mendidihkan minyak zaitun dan menyiram bagian yang terpotong dengan minyak tadi. Sontak Urwah pun jatuh tak sadarkan diri. Setelah siuman, ia berkata lirih sambil menyitir firman Allah berikut,

“Sungguh, kita benar-benar merasa letih karena perjalanan ini.” (QS. Al-Kahfi: 62)

Namun cobaannya tak berhenti sampai di sini. Bahkan diriwayatkan bahwa pada malam kakinya diamputasi itu, salah seorang anak kesayangannya yang bernama Muhammad, jatuh terpeleset dari atap rumah dan wafat seketika!

Para tetangga dan handai taulan pun berdatangan memberikan takziyah kepadanya. Namun orang alim ini justru memanjatkan pujian kepada Allah, “Segala puji bagi-Mu, ya Allah, mereka adalah tujuh bersaudara yang satu di antaranya telah Kau ambil, namun Engkau masih menyisakan enam bagiku. Sebelumnya aku juga memiliki empat anggota badan, lalu Kau ambil satu dari padanya, dan Kau sisakan yang tiga bagiku. Meski Engkau telah mengambilnya, namun Engkau jualah pemberinya, dan meski Engkau telah mengujiku, namun Engkau jualah yang selama ini memberiku kesehatan.”

Alangkah tabahnya beliau.
Betul-betul potret ketabahan yang luar biasa dalam sejarah manusia. Dari manakah ia mewarisi sifat tersebut?
Untuk menelusurinya, marilah kita kembali ke beberapa tahun yang silam.
Tunggu kisah selanjutnya …

Sumber: Ibunda Para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, Wafa Press, Cetakan Pertama Ramadhan 1427 H / Oktober 2006.


  • Asma Pemilik Dua Ikat Pinggang
        Syahdan, ketika itu Abu Bakar sedang berkemas mempersiapkan segalanya untuk hijrah bersama kekasihnya, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia telah menyewa seorang ahli penunjuk jalan yang akan menghantarkannya ke Madinah. Disiapkannya pula dua ekor unta sebagai kendaraan pribadi sembari menunggu perintah Rosulullah untuk mulai berhijrah.

Urwah mengisahkan dari bibinya, Aisyah, sebagai berikut,

“Ketika itu, kami (keluarga Abu bakar) sedang beristirahat dalam rumah, berteduh dari sengatan panas matahari di siang bolong, senyap-senyap terdengarlah suara seseorang yang berbisik kepada Abu Bakar,
“Hei, Rosulullah datang sambil menyamar untuk menemui kita!”

“Sungguh, tidak biasanya beliau menemui kita di saat seperti ini, ada apakah gerangan?” gumamku.

“Demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusannya, ia tak mungkin datang di saat seperti ini kecuali karena perintah Allah,” kata Abu Bakar.

Sesampainya di rumah Abu Bakar, Rosuliullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin untuk masuk. Setelah diizinkan, beliau pun masuk menemui Abu Bakar seraya berkata,
“Suruh mereka (keluarga) keluar sebentar,” perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.

“Mereka tak lain adalah keluargamu juga, ya Rasulullah,” jawab Abu Bakar.

“Sesungguhnya aku telah diizinkan berhijrah,” kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Anda ingin kutemani, wahai Rosulullah?” tanyanya lagi.

“Benar,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Ambillah mana dari unta ini yang engkau sukai, wahai Rosulullah,” kata Abu Bakar.

“Ya, tapi akan kubayar,” sahut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka segeralah kami menyiapkan segala keperluan mereka berdua sebaik mungkin. Kami siapkan bagi mereka bekal untuk hijrah dalam sebuah kantong, namun kami tak punya seutas tali untuk mengikatnya. Maka Asma membelah ikat tali untuk mengikatnya. Maka Asma membelah ikat pinggangnya menjadi dua. Sehelai ia pakai, dan satunya untuk mengikat kantong yang akan digendongnya. Maka sejak itulah ia dijuluki Dzatun Nithaqain (yang punya dua ikat pinggang).

Kemudian ayah berangkat bersama Rosulullah ke Gua Tsur. Mereka bermalam disana selama tiga malam. Selama itu Asma mondar-mandir menghantarkan bekal untuk mereka.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Asma’ adalah orang kedelapan belas yang masuk Islam di Mekkah. Ia hijrah ke Madinah dalam keadaan hamil sembilan bulan. Setibanya di Madinah ia menjadi muhajir pertama yang melahirkan anaknya di Madinah, Abdullah bin Zubair.


  • Gambaran Hati Asma

         Di antara potret ketabahan Asma’ ialah apa yang diriwayatkan oleh sejarawan terkenal, Ibnu Ishaq, dari Asma, katanya,

“Ketika Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak dari Mekkah, ayah membawa seluruh hartanya yang berjumlah lima ribu atau enam ribu dirham. Lalu datanglah Abu Quhafah (ayah Abu Bakar, kakek Asma) menghampiriku seraya berkata, “Orang ini (Abu Bakar) nampaknya ingin menyusahkan kalian dengan membawa semua hartanya.”

“Tidak, kek, bahkan ia meninggalkan harta yang banyak untuk kami,” jawab Asma’. Kemudian aku pun memungut beberapa buah batu, lalu kuletakkan disebuah celah di dinding, tempat ayah biasa menyimpan uangnya. Batu itu kemudian kututupi dengan sehelai kain. Lalu kupegang tangan kakek dan kuletakkan di atas kain tadi, “Inilah yang ayah tinggalkan bagi kami,” kataku.

“Oo, kalau memang meninggalkan sebanyak ini, tak masalah,” ujarnya.

“Padahal, demi Allah, ayah tak meninggalkan uang sepeser pun bagi kami,” kata Asma.


  • Gambaran Keberanian dan Kepahlawanan Asma
        Di antara bukti yang menunjukkan keberanian dan kepahlawanan Asma ialah yang beliau kisahkan sendiri.  Beliau menuturkan, “Suatu ketika Abu Jahal dengan beberapa orang temannya datang ke rumah kami. Aku pun keluar untuk menghadapi mereka.

“Di mana ayahmu?!” bentak Abu Jahal.

“Demi Allah, aku tak tahu di mana dia,” jawabku.

Spontan Abu Jahal mengayunkan tangannya dan.. Plakk!! Ia menampar pipiku keras-keras hingga anting-antingku lepas lalu ia pergi.

Asma’ juga mengisahkan,
“Ketika Zubair menikahiku, ia tak memiliki apa-apa selain kudanya. Maka akulah yang merawat kuda itu dan memberinya makan. Aku juga harus menumbuk biji kurma untuk pakan untanya.
Aku juga yang mencari air dan mengadon roti.

Sering kali aku mengusung sekeranjang biji kurma dari kebun Zubair yang berjarak dua pertiga farsakh dari rumahku. Pernah suatu hari, ketika aku hendak kembali ke rumah aku berpapasan dengan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabatnya, sedang di atas kepalaku ada keranjang penuh berisi biji kurma.

“Ikh.. ikh..,” ucap Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya merebahkan untanya, menawarkan tunggangan untukku.
Aku merasa malu dan ingat akan Zubair, betapa ia akan cemburu nantinya jika ketahuan aku membonceng Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliaupun berlalu.

Setibanya di rumah, kuceritakan apa yang terjadi pada Zubair. Lalu katanya, “Sungguh, keluarmu dari rumah dengan mengusung biji kurma lebih terasa berat bagiku daripada membonceng Rosulullah.”
Setelah kejadian itu, Abu Bakar mengirim seorang pembantu untukku, hingga aku tak lagi mengurusi kuda Zubair. Sungguh aku seakan menjadi sahaya yang dimerdekakan karenanya.”


  • Kedermawanaan Asma
        Muhammad bin Munkadir menceritakan bahwa Asma adalah wanita yang penyantun. Zubair bin Awwam sendiri mengakuinhya, ia mengatakan,
“Aku tak pernah melihat wanita yang lebih penyantun dari Aisyah dan Asma, namun sifat santun mereka sedikit berbeda. Kalau Aisyah, maka ia mengumpulkan uangnya sedikit demi sedikit, baru setelah terkumpul ia bagi-bagikan. Sedang Asma tak pernah menyimpang sesuatu untuk hari esok.”

Fathimah binti Mundzir mengatakan, “Pernah suatu ketika Asma menderita sakit, maka ia memerdekakan semua budak yang dimilikinya.”

  • Kebijaksanaan Asma
        Di antara gambaran kebijaksanaannya sebagai seorang ibu ialah ketika ia berpesan kepada puteranya, Abdullah bin Zubair, “Wahai puteraku, hiduplah sebagai orang mulia, dan gugurlah sebagai orang mulia pula, janganlah kamu sampai jatuh dalam tawanan mereka.”

Urwah menceritakan, “Pernah aku dan Abdullah, saudaraku, datang menemui ibunda kami, yaitu sepuluh hari menjelang gugurnya Abdullah. Ketika itu ibu sedang sakit, maka Abdullah menyapanya,

“Bagaimana keadaanmu, Bu?”

“Sakit,” jawabnya.

“Sesungguhnya dalam kematian itu ada ketenganan,” kata Abdullah sambil bercanda.

“Nampaknya kamu ingin agar aku segera mati ya? Jangan begitu dong,” kata Asma sambil tersenyum.

“Demi Allah, aku belum ingin mati sebelum engkau mengalami satu dari dua hal, engkau terbunuh kemudian aku sabar dan mengharap pahalanya dari Allah atau engkau menang sehingga aku pun senang.”

“Ingatlah, jangan sampai engkau dihadapkan pada suatu pilihan yang tak kau setujui, kemudian kau terima karena takut mati,” pesan Asma kepada Abdullah.

Urwah mengatakan, “Sebenarnya yang dimaksudkan saudaraku ialah bahwa ia lebih memilih untuk dibunuh, maka Asma pun sedih karenanya.”

Dibunuh? Ada apa sebenarnya?

Saat itu sebetulnya Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dengan pasukan Syam sedang mengepung ketat para pendukung Abdullah bin Zubair di sekitar Masjidil Haram.
Manjanik-manjanik pun disiapkan guna menggempur benteng pertahanan Ibnu Zubair. Konon pengepungan itu dilakukan ketika musim haji, dan tahun itu Al-Hajjaj bin Yusuf bertindak sebagai amirul hajj. Akan tetapi ia tak bisa thawaf karena Masjidil Haram berada dalam kekuasaan Ibnu Zubair, sedang Ibnu Zubair tak bisa wuquf, karena ia terkepung musuh dari luar.

Akhirnya pasukan Syam di bawah komando Hajjaj berhasil menaklukkan Ibnu Zubair dan para pendukungnya. Hajjaj kemudian mengeksekusi Ibnu Zubair dan menyalibnya di atas bukit Tsaniyyatul Wada.

Sungguh hari itu merupakan hari kelabu bagi warga kota Makkah. Isak tangis dan kesedihan merebak di seluruh penjuru kota, melepas kepergian sang pahlawan putera pembela Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Sumber: Ibunda Para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, Wafa Press, Cetakan Pertama Ramadhan 1427 H / Oktober 2006.





      
  Semoga Artikel Tentang Biografi Urwah bin Zubair ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Aamiin

* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid

0 komentar:

Posting Komentar