Sabtu, 15 November 2014

Sejarah dan Proses Turunnya Al - Qur'an


                                             ⌘  ~  Al-Qur’an  ~


          Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.

  • Bagian-bagian Al-Qur’an
         Al-Qur’an mempunyai 114 surat, dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat, yaitu Al Baqarah, dan terpendek terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-‘Ashr, Al-Kautsar, dan An-Nashr.
Sebagian ulama menyatakan jumlah ayat di Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan 6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin, Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak mengikutsertakannya sebagai ayat.

Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al-Qur’an dalam 30 juz yang sama panjang, dan dalam 60 hizb (biasanya ditulis di bagian pinggir Al-Qur’an).
Masing-masing hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub’ (seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat).

Selanjutnya Al-Qur’an dibagi pula dalam 554 ruku’, yaitu bagian yang terdiri atas beberapa ayat. Setiap satu ruku’ ditandai dengan huruf ‘ain di sebelah pinggirnya. Surat yang panjang berisi beberapa ruku’, sedang surat yang pendek hanya berisi satu ruku’.
Nisf Al-Qur’an (tanda pertengahan Al-Qur’an), terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf yang artinya: “hendaklah ia berlaku lemah lembut”.



  • Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui berbagai cara, antara lain:

1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya.

2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan kata-kata di hadapan Nabi SAW.

3. Wahyu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.
Menurut Nabi SAW, cara inilah yang paling berat dirasakan, sampai-sampai Nabi SAW mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin.

4. Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli.
Setiap kali mendapat wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh Malaikat Jibril.

Al-Qur’an diturunkan dalam 2 periode, yang Pertama Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat.

Kedua adalah Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.



  • Ciri-ciri Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah
Makkiyah
  1. Dimulai dengan kalimat "Yaa ayyuhannas (wahai manusia)" ayat-ayat teologi,
    kecuali dalam surat Al-Hajj [22], karena dipenghujung surat itu terdapat sebuah ayat yang dimulai dengan ungkapan yaa ayyuhalladziina amanu irka’u wasjudu.
  2. Terdapat Lafadz kolla 
  3. Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf At Tahajji (terpotong-potong) seperti alif lam mim dan sebagainya,  terkecuali surat Al-Baqarah [2] dan Ali ‘Imran [3].
  4. Pada umumnya tema berceritakan tentang Nabi dan umat-umat terdahulu.
  5. Bercerita tentang Nabi Adam dan iblis, kecuali surat Al-baqaroah [2].
  6. Pada umumnya ayat-ayatnya ada huruf alif (pemisah).
  7. Pada umumnya ayatnya pendek-pendek
  8. Membahas tentang thelogi (aqidah)
  9. Banyak terdapat lafal sumpah.
  10. Mangandung seruan pokok-pokok iman kepada Allah, hari akhir, dan menggambarkan keadaan surga dan neraka.

❖ Madaniyyah

  1. Dimulai dengan kalimat "Yaa ayyuhalladzina amanu (wahai orang-orang yang beriman) 
  2. Setiap surat yang berisi kewajiban atau sanksi.
  3. Pada umumnya ayat-ayatnya panjang-panjang.
  4. Berbicara tentang orang-orang munafik, masalah yang terkait dengan hukum dan muamalah, perdebatan ahli kitab.
  5. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.

Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah

  1. Berdarakan waktu, inilah yang paling populer dikalangan mufasirin bahwa telah menjadi kesepakatan dikalangan mereka, bahwa surat atau ayat yang diturunkan sebelum hijrah adalah Makkiyah, sedangkan yang diturunkan sesudah hijrah adalah Madaniyah. Dalam hal ini tempat bukan menjadi ukuran. Misalnya QS Al-Maidah [5] : 3 adalah Madaniyah meskipun diturunkan di Arafah – Mekkah.
  2. Berdasarkan tempat, jika diturunkan di Mekkah (meliputi Mina, Arafah, Hudaybiyah) berarti Makkiyah. Jika diturunkan di Madinah (meliputi Badar dan Uhud) berarti Madaniyah.
  3. Berdasarkan Khitab, yaitu seruan yang disampaikan. Jika ditujukan kepada penduduk Mekkah maka Makkiyah. Jika ditujukan kepada penduduk Madinah maka berarti Madaniyah. Klasifikasi ini bermasalah jika seruan tidak ditujukan kepada keduanya.

Faedah/Manfaat mengetahui Makkiyah – Madaniyyah

  1. Mengetahui tempat dan waktu diturunkannya ayat Al-Qur’an, untuk membantu memahami penafsiran yang benar serta analisa nasikh-mansukhnya.
  2. Meresapi gaya bahasa Al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode dan tahapan dakwah.
  3. Memahami sirah nabawiyah dan periode periode dakwahnya.

       Ayat Al-Qur’an yang pertama diterima Nabi Muhammad SAW adalah 5 ayat pertama surat Al-‘Alaq, ketika ia sedang berkhalwat di Gua Hira, sebuah gua yang terletak di pegunungan sekitar kota Mekah, pada tanggal 17 Ramadhan (6 Agustus 610). Kala itu usia Nabi SAW 40 tahun.




       Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa turunnya Al-Qur’an berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an dan riwayat Hadits shahih melalui tiga tahap yaitu :

  • Tahap Pertama
Al-Qur’an berada di Lauhil Mahfuzh, sebagaimana firman Allah :

“ Padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauhil Mahfuzh.” (Q.S. Al-Buruuj: 20-22)


Ketika Al-Qur’an berada di Lauhil Mahfuzh tidak diketahui bagaimana keadaannya, kecuali Allah yang mengetahuinya, karena waktu itu Al-Qur’an berada di alam ghaib, kemudian Allah menampakkan atau menurunkannya ke Baitul ‘Izzah di langit bumi. Secara umum, demikian itu menunjukkan adanya Lauhil Mahfuzh, yaitu yang merekam segala qadha dan takdir Allah SWT, segala sesuatu yang sudah, sedang, atau yang akan terjadi di alam semesta ini. Demikian ini merupakan bukti nyata akan mengagungkan kehendak dan kebijaksanaan Allah SWT yang Maha Kuasa.

Jika keberadaan Al-Qur’an di Lauhil Mahfuzh itu merupakan Qadha (ketentuan) dari Allah SWT, maka ketika itu Al-Qur’an adanya persis sama dengan keadaannya sekarang. Namun demikian hakekatnya tidak dapat diketahui, kecuali oleh seorang Nabi yang diperlihatkan oleh Allah kepadanya. Dan segala sesuatu yang terjadi di bumi ini telah tertulis dalam Lauhil Mahfuzh sebagaimana firman Allah :
 

“ Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q.S. Al Hadiid: 22)

  • Tahap Kedua
Al-Qur’an dari Lauh Mahfuzh diturunkan ke langit bumi (Baitul ‘Izzah)
Berdasarkan kepada beberapa ayat dalam Al-Qur’an dan Hadits berkah yang dinamakan malam Al-Qadar (Lailatul Qadar) dalam bulan suci Ramadhan. Sebagaimana firman Allah :


“ Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.”
(Q.S Al-Qadr: 1)

Dan firman Allah :


“ (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
(Q.S. Al Baqarah: 185)

Dan firman Allah :


Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (Q.S. Ad-Dukhaan: 3)

Tiga ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Al-Qur’an, diturunkan pada suatu malam bulan Ramadhan yang dinamakna malam Lailatul Qadar yang penuh berkah. Demikian juga berdasarkan beberapa riwayat sebagai berikut :


Riwayat dari Ibn Abbas ra. berkata :
Al-Qur'an dipisahkan dari Adz Dzikir lalu Al-Qur'an itu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, lalu Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi.”

Riwayat dari Ibnu Abbas berkata :
Al-Qur'an diturunkan sekaligus langit bumi (Bait Al-Izzah) berada di Mawaqi’a Al-Nujum (tempat bintang-bintang) dan kemudian Allah menurukan kepada Rasul-Nya dengan berangsur-angsur.”

Dan Hadits riwayat Imam Thabrani berkata:
Al-Qur'an diturunkan pada malam Al-Qadar pada bulan Ramadhan di langit bumi sekaligus kemudian diturunkan secara berangsur-angsur.”

Ketiga riwayat tersebut dijelaskan di dalam Al-Iqam bahwa ketiganya adalah sahih sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Suyuthy riwayat dari Ibn Abbas, dimana dia ditanya oleh Athiyah bin Aswad dia berkata :

“Dalam hatiku terdapat keraguan tentang firman Allah dalam surah Al - baqarah ayat 185 :
“ (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran.”

Dan firman Allah dalam surah Al - Qadr ayat 1:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.”

Sedangkan Al-Qur’an ada yang diturunkan pada bulan Syawal, Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram, Safar dan bulan Rabi’ul Awwal dan Rabi’ul Akhir. Ibnu Abbas menjawab bahwa Al-Qur’an itu diturunkan pada bulan Ramadhan malam Lailatul Qadar secara sekaligus yang kemudian diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur di sepanjang bulan dan hari.

Yang dimaksud dengan nujum (bertahap) adalah diturunkan sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah, sebagiannya menjelaskan bagian yang lain sesuai dengan fungsi dan kedudukannya.
Al-Suyuthy mengemukakan bahwa Al-Qurthuby telah menukilkan hikayat Ijma’ bahwa turunnya Al-Qur’an secara sekaligus adalah dari Lauh Al-Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit pertama.

Barangkali hikmah dari penurunan ini adalah untuk menyatakan keagungan Al-Qur’an dan kebesaran bagi orang yang diturunkannya dengan cara memberitahukan kepada penghuni langit yang tujuh bahwa kitab yang paling terakhir yang disampaikan kepada Rasul penutup dari umat pilihan sungguh telah diambang pintu dan niscaya akan segera diturunkan kepadanya.


As-Suyuthy berpendapat andaikata tidak ada hikmah Ilahiyah yang menyatakan turunnya kepada umat secara bertahap sesuai dengan keadaan niscaya akan sampai ke muka bumi secara sekaligus sebagaimana halnya kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Tetapi karena Allah SWT membedakan antara Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya, maka Al-Qur’an diturunkan dalam dua tahap, turun secara sekaligus kemudian diturunkan secara berangsur sebagai penghormatan terhadap orang yang akan menerimanya.


  • Tahap Ketiga :
Al-Qur’an diturunkan dari Baitul-‘Izzah kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari dengan cara sebagai berikut :

a. Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi SAW tidak ada melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu (wahyu) sudah ada dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi 

mengatakan: “Ruhul Qudus mewahyukan ke dalam qalbuku.”
Firman Allah SWT :
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”(Q.S. Asy Syuuraa : 51).

b. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.

c. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya lonceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit : “Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa.”

 
d. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan point b, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al-Qur’an :
Artinya : “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.” (Q.S. An-Najm: 13-14)
                                                


Berdasarkan uraian di atas, maka kesimpulan yang bisa kita dapat adalah :
1. Al-Qur’an pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada 17 Ramadhan tahun pertama kenabian atau di waktu Nabi Muhammad SAW telah di angkat menjadi Nabi Muhammad SAW, dan peringati sebagai Nuzulul Qur’an. Sebenarnya para ulama mengenai hal ini tidak sependapat. Ada tiga pendapat, mengenai ayat atau surat pertama sekali turun, yaitu ada yang mengatakan Surat Al-Fatihah, Surat Al-Mudatstsir, dan jumhur ulama berpendapat bahwa ayat pertama turun ialah Surat Al-‘Alaq 1-5.


2. Para ulama tidak sepakat mengenai ayat terakhir turun. Terdapat banyak pendapat mengatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah Surat Al-Baqarah ayat 278, An-Nisa’ ayat 176, At-Taubah ayat 128-129, dan yang paling populer adalah Surat Al-Maidah ayat 3. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat adalah Surat Al-Baqarah ayat 281.


3. Penyampaian Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW seiring dengan periode dakwah Nabi SAW, yang meliputi periode Mekkah dan periode Madinah. Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan sehubungan dengan berbagai peristiwa, baik bersifat individual atau sosial (kemasyarakatan) yang terjadi berturut-turut selama kurang lebih 23 tahun sampai akhir hidup Rosulullah SAW.


4. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dengan sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur. Hal ini dibuktikan dengan jumlah 86 surat yang diturunkan pada periode Mekkah lebih banyak dari jumlah 28 surat yang diturunkan pada periode Madinah. Perbedaan antara kedua periode ini ditandai dengan perjalanan dakwah islam oleh Rosulullah SAW, yaitu yang terdiri dari sebelum hijrah yang disebut periode Mekkah, dan setelah hijrah yang disebut periode Madinah. Dalilnya dapat dilihat pada Surat Al-Furqan ayat 32 dan Surat Al-Isra’ ayat 106.


5. Hikmah diturunkannya Al-Qur’an berangsur-angsur, yaitu:

  1. Menetapkan atau menguatkan hati Nabi Muhammad SAW.
  2. Berangsur-angsur dalam mendidik umat, yang sedang tumbuh ini, untuk menanamkan ilmu dan amal.
  3. Menyesuaikan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa itu.
  4. Memberikan isyarat yang nyata kepada musuh-musuh Islam, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang datang dari Allah SWT bukan perkataan Nabi Muhammad SAW.


  • Kodifikasi Al-Qur’an
          Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rosulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka.
Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang.
Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup satu surat, Nabi SAW memberi nama surat tsb untuk membedakannya dari yang lain. Nabi SAW juga memberi petunjuk tentang penempatan surat di dalam Al-Qur’an. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al-Qur’an juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan di masa Nabi SAW tsb berlangsung sampai Al-Qur’an sempurna diturunkan dalam masa kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, setiap tahun Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya. Malaikat Jibril mengontrol bacaan Nabi SAW dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama dengan mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian terpeliharalah Al-Qur’an dari kesalahan dan kekeliruan.



  • Para Hafidz dan Juru Tulis Al-Qur’an
          Pada masa Rosulullah SAW sudah banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an), baik hafal sebagian saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’b, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.

Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’b, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As.
Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rosulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tsb belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rosulullah SAW wafat.

Kenapa Al-Qur’an Tidak Dibukukan Dalam Satu Mushhaf (Pada Masa Nabi)

Pengumpulan Al-Qur’an yang tidak dilakukan secara sekaligus, melainkan melalui beberapa masa, dimana kemudian menjadi suatu mushhaf yang utuh.
Di sini kami bertanya: “Kenapa Al-Qur’an pada masa Nabi SAW tidak dikumpulkan dan disusun dalam bentuk satu mushhaf?. Jawabnya adalah:


Pertama: Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Tidaklah mungkin untuk membukukannya sebelum secara keseluruhannya selesai.


Kedua: Sebagian ayat ada yang dimansukh. Bila turun ayat yang menyatakan nasakh, maka bagaimana mungkin bisa dibukukan datam satu buku.


Ketiga: Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu tetapi urutannya ditempatkan pada awal surat. Yang demikian tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.


Keempat: Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasululah SAW adalah sangat pendek/dekat.
Sebagaimana pembahasan terdahulu bahwa ayat Al-Qur’an yang terakhir adalah:
Firman Allah SWT:

Kemudian Rosulullah SAW berpulang ke rahmatullah setelah sembilan hari dari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian masanya sangat relatif singkat, yang tidak memungkinkan untuk menyusun atau membukukannya sebelum sempurna turunnya wahyu.

Kelima: Tidak ada motivasi yang mendorong untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf sebagaimana yang timbul pada masa Abu Bakar. Orang-orang Islam ada dalam keadaan baik, ahli baca Qur’an begitu banyak, fitnah-fitnah dapat diatasi. Berbeda pada masa Abu Bakar dimana gejala-gejala telah ada; banyaknya yang gugur, sehingga khawatir kalau Al-Qur’an akan lenyap.


Kesimpulan: Kalau Al-Qur’an sudah dibukukan dalam satu mushaf, sedangkan situasi sebagaimana yang tersebut di atas, niscaya Al-Qur’an akan mengalami perubahan dan pergantian selaras dengan terjadinya naskh (ralat) atau munculnya sebab disamping perlengkapan menulis tidak mudah didapat.
Kondisi tidak akan membantu untuk melepaskan mushaf yang lebih dahulu dan harus berpegang pada mushaf yang baru karena tidak mungkin setiap bulan ada satu mushaf yang mencakup tiap ayat Al-Qur’an yang diturunkan. Namun setelah masalahnya stabil yaitu dengan berakhirnya penurunan, wafatnya Rosul, tidak lagi diralat, dan diketahuinya susunan, maka mungkinlah dibukukan menjadi satu mushaf. Dan inilah yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. khalifah yang bijaksana, semoga Allah membalas jasanya atas perbuatan beliau dalam mengumpulkan Al-Qur’an beserta orang-orang Islam yang mengikuti jejaknya dengan balasan yang berlipat anda.

Beberapa Pertanyaan Sekitar Pengumpulan Al-Qur’an
Permasalahan yang mungkin sekali dihadapi dan diapungkan oleh kita
Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab secara terperinci. Secara ringkas kami simpulkan sebagai berikut:

Pertama: Mengapa Abu Bakar ragu-ragu dalam masalah pengumpulan Al-Qur’an padahal masalahnya sangat baik lagi pula diwajibkan oleh Islam?
Jawabnya adalah: Abu Bakar khawatir kalau-kalau orang mempermudah dalam usaha menghayati dan menghafal Al-Qur’an, cukup dengan hafalan yang tidak mantap dan khawatir kalau-kalau mereka hanya berpegang dengan apa yang ada pada mushaf yang akhirnya jiwa mereka lemah untuk menghafal Al-Qur’an. Minat untuk menghafal dan menghayati Al-Qur’an akan berkurang karena telah ada tulisan dan terdapat dalam mushaf-mushaf yang dicetak untuk standar membacanya, sedangkan sebelum ada mushaf-mushaf mereka begitu mencurahkan kesungguhannya untuk menghafal Al-Qur’an.


Dari segi yang lain bahwasanya Abu Bakar Siddiq adalah benar-benar orang yang bertitik-tolak dari batasan-batasan syari’at, selalu berpegang menurut jejak-jejak Rosulullah SAW, dimana ia khawatir kalau-kalau idenya itu termasuk bid’ah yang tidak dikehendaki oleh Rosul Karena itulah maka Abu Bakar mengatakan kepada Umar: “Mengapa saya harus mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah SAW? Barangkali ia takut terseret oleh ide-ide dan gagasan yang membawanya untuk menyalahi sunnah Rosulullah SAW serta membawa kepada bid’ah.
Tetapi tatkala ia menganggap bahwa hal tersebut adalah sangat penting dan pendapat tersebut pada hakikatnya adalah merupakan suatu sarana yang amat penting demi kelestarian kitab Al-Qur’an dan demi terpeliharanya dari kemusnahan dan perubahan, lagi pula ia meyakini bahwa hal tersebut tidaklah termasuk masalah yang menyalahi ketentuan dan bid’ah yang sengaja dibikin-bikin, maka ia bertekad baik untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Akhirnya ia bisa memuaskan Zaid mengenai masalah ini sehingga Allah melapangkan dadanya dan Zaid tampil untuk melaksanakan usaha yang amat penting ini. wallahu alam.

Kedua: Kenapa Abu Bakar dalam hal ini memilih Zaid bin Tsabit dari shahabat lainnya?.
Jawabnya adalah: Zaid adalah orang yang betul-betul memiliki pembawaan/kemampuan yang tidak dimiliki oleh shahabat lainnya dalam hal mengumpulkan Al-Qur’an, ia adalah orang yang hafal Al-Qur’an, ia seorang sekretaris wahyu bagi Rasulullah SAW, ia menyamakan sajian yang terakhir dari Al-Qur’an yaitu dikala penutupan masa hayat Rosulullah SAW.
Disamping itu ia dikenal sebagai orang yang wara’ (bersih dari noda), sangat besar tanggung jawabnya terhadap amanah, baik akhlaknya dan taat dalam agamanya. Lagi pula ia dikenal sebagai orang yang tangkas (IQ-nya tinggi). Demikianlah kesimpulan kata-kata Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari tatkala ia memanggilnya dengan mengatakan: “Anda adalah seorang pemuda yang tangkas yang tidak kami ragukan. Anda adalah penulis wahyu Rosul”.
Dengan beberapa sifat dan keistimewaan di atas, Abu Bakar Shiddiq memilih dan menunjuknya sebagai pengumpul Al-Qur’an. Adapun alasan yang menyatakan bahwa Zaid bin Tsabit adalah seorang yang sangat teliti, dapat dilihat dari kata-katanya: “Demi Allah, andaikata saya ditugaskan untuk memindahkan sebuah bukit tidaklah lebih berat jika dibandingkan degan tugas yang dibebankan kepadaku ini”. (Al-Hadits).




        Semoga Artikel Tentang Sejarah dan Proses Turunnya Al-Qur'an ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Aamiin

* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid

0 komentar:

Posting Komentar