Rabu, 05 November 2014

Takdir Jodoh

     
       
Annisa itulah nama yang telah diberikan orangtuaku. Aku memiliki seorang teman yang bernama Ardi kami berteman sudah sejak lama, sedari kecil mulai dari TK, SD dan SMA kami bersekolah di tempat yang sama. Bahkan kuliah pun aku dan Ardi masuk ke universitas yang sama. Walau berbeda fakultas aku dan Ardi tetap bersama menjalani semua yang biasa kami lakukan. Dengan seiring berjalannya waktu, aku merasakan sebuah rasa yang berbeda. Sebuah perasaan yang membuat jantung ini berdebar debar saat bersamanya. Inikah yang dinamakan cinta? Apakah aku telah jatuh cinta pada Ardi? Entahlah, biarlah perasaan ini ku simpan dalam hati saja.

Aku dan Ardi sering menghabiskan waktu berdua. Mulai dari nongkrong di kafe, nonton atau hanya sekedar jalan-jalan kami selalu bersama. Hingga tak heran orang-orang sering menganggap aku dan Ardi pacaran. Aku dan Ardi hanya dapat tersenyum mendengarnya walaupun dalam hatiku ingin anggapan mereka benar-benar nyata.

        Sampai pada suatu hari datanglah seseorang ke kehidupan kami. Ghina Salsabila namanya.dia adalah teman satu kelas denganku.Semua itu bermula saat Ghina tak sengaja menabrak Ardi di depan kelasku. Sejak saat itu Ardi selalu memintaku memberikan informasi tentang Ghina. Setiap hari pun Ardi selalu menunggu di depan kelasku, namun bukan untuk menemuiku melainkan melakukan pendekatan kepada Ghina.
Setelah beberapa minggu Ardi melakukan pendekatan terhadap Ghina, mereka pun berpacaraan. Hatiku hancur mengetahui mereka berpacaran. Aku sedih, sakit dan kecewa. Namun, aku sadar bahwa aku hanyalah sebatas sahabat untuk Ardi.

Sejak saat itu, hari hariku bertema sepi. Ku lalui hariku sendiri tanpa kehadiran Ardi di sisiku. Dia tak lagi menghiraukanku. Dia menghabiskan waktu hanya untuk Ghina, Ghina dan Ghina. Aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Memandang Ardi yang selalu ada buat Ghina, bercanda ria tanpa mengetahui betapa sakit yang kurasa. hatiku perih melihat semua ini, serasa disayat-sayat oleh pedang yang teramat tajam.


Tiga bulan sudah hubungan Ardi dan Ghina berjalan. Mereka berdua nampak sangat bahagia. Hingga pada akhirnya sebuah hal yang tak diinginkan terjadi. Ghina dijodohkan oleh kedua orangtuanya dan dia tak bisa menolaknya. Sedangkan Ardi tak bisa berbuat apa-apa. Dia sangat patah hati. Ardi  kembali kepadaku, menuangkan semua kesedihannya. Aku menerimanya dengan hati terbuka. Aku berusaha tuk menghibur Ardi, membuatnya kembali bahagia. Namun, Ardi masih terpuruk. Dia masih sangat patah hati, tak mau akan hingga akhirnya tergolek lemah di rumah sakit.
Selama di rumah sakit aku selalu berada di samping Ardi. Aku memberikan segenap perhatian yang tulus kepadanya. Aku merawatnya dengan penuh kasih sayang. Aku juga selalu mendo’akan agar dia cepat sembuh dan kami akan kembali melalui hari-hari indah bersama.

Setelah kesembuhan Ardi, kami kembali bersama. Kami kembali melakukan rutinitas yang dulu selalu aku dan Ardi lakukan. Hari indahku bersamanya telah kembali. Hingga akhirnya di tengah kebahagiaan yang ku rasa dia kembali… dan bersamanya.
Ya, dia adalah Ghina. Dia kembali kepada Ardi setelah perjodohannya batal. Orang yang dijodohkan untuknya telah menghianati keluarganya. Ghina akhirnya merajut kembali cinta lamanya dengan Ardi. Mereka berdua kembali dalam canda tawa, sedangkan aku kembali merasakan sakitnya patah hati.


         Hari-hari silih berganti. Hingga pada suatu hari Ardi dan Ghina menyerahkan sebuah undangan berwarna merah muda kepadaku. Aku menitikan air mata membacanya. Ardi ternyata akan segera melangsungkan pertunangan dengan Ghina. Aku berusaha tegar memerima semua kenyataan ini walau tersimpan sakit yang teramat dalam di hati kecilku.
Waktu terus berlalu. Telah tiba saatnya hari pertunangan Ardi dan Ghina. Rasanya aku tak ingin datang ke acara itu. Dengan dorongan dari Papa dan Mama akhirnya aku menghadiri acara itu. Aku memasuki ruang pertunangan mereka dengan selalu berada di dekat Papa dan Mama. Ku genggam erat tangan Mama untuk menetralisir rasa yang berkecamuk di dalam dada. Mama seakan tahu apa yang kurasa. Mama pun mendekapku erat untuk menenangkanku.
Pada waktu pemasangan cincin, ku lihat rona bahagia di wajah Ardi dan Ghina. Namun ada perasaan yang begitu mendesak di dalam dada hingga pada akhirnya aku meneteskan air mata. Sakit, melihat orang yang ku cinta bahagia bersama wanita lain. Sudah sepantasnya, aku ikut bahagia melihat sahabatku bahagia. Namun, aku tak bisa. Terlalu sulit untuk dilakukan. Hati kecilku memberontak, tak terima dengan keadaan ini.

Sebulan sudah hari pertunangan Ardi dan Ghina berlalu. Aku berusaha untuk menerima kenyataan Ardi bukan tercipta untukku. Ardi hanyalah teman kecilku, sahabatku. Dia telah bahagia bersama cintanya, Ghina. Aku berusaha tuk menata kembali hatiku yang hancur. Aku bertekad untuk menghapus nama Ardi yang telah terukir indah dalam hatiku walau susah untuk melakukannya.


Hingga tiba-tiba dering telephonku membuyarkan lamunanku. Aku tak percaya dengan berita yang ku dengar. Mama memberitahuku bahwa mobil yang dikendarai Ardi dan Ghina mengalami kecelakaan. Tubuhku lemas seketika. Lidahku kelu tak dapat berkata apa-apa.
Aku bergegas menuju rumah sakit. Sampai disana telah berkumpul keluarga Ardi dan Ghina yang diselimuti duka. Aku melihat tubuh Ghina telah terbujur kaku. Kepalanya dipenuhi darah akibat benturan keras. Sedangkan Ardi tergolek lemah tak berdaya di ruang ICU. Dia koma dan kritis.
Aku menangis dan tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa menemani Ardi menjalani berbagai macam operasi. Ardi memerlukan banyak darah karena menjalani banyak operasi di tubuhnya. Stok darah di rumah sakit yang golongannya A pun telah habis. Ahirnya aku putuskan untuk mendonorkan darahku pada Ardi karena teringat bahwa golongan darahnya sama.

Hari-hariku dihabiskan untuk menemani Ardi. Aku selalu berada di sampingnya menunggu ia sadar dari komanya. Aku tak peduli rasa letih yang menerpa. Bagiku kesembuhan Ardilah yang terpenting.
Akhirnya setelah sepuluh hari koma Ardi sadar juga. Namun dia mencari dan memanggil-manggil nama Ghina. Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku tak ingin Ardi drop mengetahui kenyataan yang ada karena kondisi tubuhnya masih belum stabil.

Pada akhirnya Ardi mengetahui semua itu. Dia sangat terpukul, menyesal dan terpuruk. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa Ghina kini telah tiada. Ardi selalu menyalahkan dirinya, dia tak mau makan dan kondisinya semakin memburuk. Aku berusaha untuk menenangkannya, menghiburnya dan tetap berada di sampingnya, walaupun semua itu sia-sia karena duka yang dialami Ardi begitu mendalam.

Setahun sudah semenjak kepergian Ghina. Ardi mulai bisa mengikhlaskan kepergiannya. Dia kembali ceria, seperti Ardi yang dulu. Hari harinya kini dipenuhi dengan canda dan tawa.
Sore ini, aku mengunjungi makam Ghina. Aku berdiri tepat di sebelah peristirahatan terakhirnya, aku memandanginya lalu duduk dan menaburi bunga di atas nisannya. Kupanjatkan segenap do'a untuknya agar dia dia tenang disana. Tanpa kusadari seorang pria telah berdiri di belakangku. Dia lalu duduk di sebelahku.
“Annisa, masihkah kamu menyimpan prasaan itu? Perasaan cintamu untukku?”
“Ardi..?” kataku tak percaya.
“Sekarang ku menyadari betapa berartinya dirimu. Kamu selalu setia menemaniku dalam senang maupun susah. Saat ku tergolek lemah tak berdaya, kamu merawatku dengan penuh kasih sayang, kamu selalu berada di sampingku. Kamulah orang yang menguatkanku, membuatku bangkit dalam kerterpurukan. Kamu juga menyadarkanku untuk menerima takdir dari Tuhan, untuk mengikhlaskan kepergian Ghina. Dan apabila memang kamulah Takdir Jodoh untukku maka aku menerimanya. Aku mencintaimu dari ketulusan hatimu.”
“Ardi…” kataku sambil meneteskan air mata.
“Annisa, maukah kamu menghabiskan semua hari-harimu bersamaku? Maukah kamu menikah denganku?”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya dapat menangis. Ya, aku menangis bahagia. Tak pernah ku sangka Ardi orang yang selama ini aku cintai melamarku. Dia melamarku di dekat peristirahatan Ghina. Aku menerimanya, dan kami berjanji untuk saling mencintai dan menyayangi. Aku lalu memandangi nisan Ghina. Aku melihat seolah-olah Ghina tersenyum bahagia.



         Semoga Cerpen tentang Takdir Jodoh ini bisa bermanfaat, menginspirasi dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita. Aamiin

* Salam Ukhuwah Islamiyah dari Andi Ibnoe Badawi Mazid

0 komentar:

Posting Komentar